KRISIS energi yang melanda Eropa kiranya bisa menjadi pelajaran penting bagi kita, bahwa berpikir dan bertindak untuk jangka panjang itu hukumnya wajib. Bayangkan kalau 'kiamat energi' (begitu orang-orang Eropa menyebut krisis itu) tiba-tiba melanda kita. Pasti semua kelimpungan.
Banyak pemerintah pusat di Eropa mulai melakukan gerakan hemat energi, seperti mematikan lampu, menurunkan termostat, dan memasang detektor gerakan. Pemerintah Ceko, misalnya, mengumumkan telah melepas setengah bohlam lampu di kantor pemerintah dan menukar sisa bohlam lama dengan lampu LED yang lebih hemat.
Mereka juga memasang sensor gerakan untuk mengurangi penerangan di koridor. Lampu sorot meriah dari bangunan pusat Kota Praha abad ke-19 juga sudah dimatikan.
Pemerintah Yunani juga mengambil berbagai langkah untuk menghemat energi. Salah satunya dengan terpaksa membatasi pencahayaan di gedung pemerintahan. Pun pengurangan pencahayaan dilakukan secara besar-besaran di gedung parlemen Yunani.
Selain Yunani, negara Eropa lainnya juga menerapkan kebijakan yang sama. Seperti Prancis yang mematikan lampu Menara Eiffel di Paris 1 jam lebih awal daripada biasanya selama dua bulan terakhir.
Jerman setali tiga uang. Negara para kanselir itu memiliki undang-undang baru untuk menghemat energi secara nasional melalui tindakan sementara seperti melarang penerangan di tempat-tempat terkenal. Spanyol juga memberlakukan jam malam pada toko dan monumen nasional yang sekarang diminta meredupkan lampu dan tutup pada pukul 10 malam.
Di Hongaria, pemerintah telah memerintahkan lembaga negara dan perusahaan untuk mengurangi konsumsi gas sebesar 25% dari konsumsi tahun sebelumnya, kecuali rumah sakit dan lembaga sosial.
Lampu juga akan padam di istana parlemen Rumania, gedung terbesar kedua di dunia setelah Pentagon Amerika Serikat. Lampu luar ruangan akan dikurangi setengahnya dan pencahayaan meriah akan dipotong menjadi 2 jam per malam.
Di Moldova, banyak warga di negara kecil itu mulai beralih ke kayu bakar sebagai pengganti mesin penghangat. Mereka ramai-ramai mengayunkan kapak mereka di atas kayu gelondongan, kemudian memasukkan kayu yang telah dibelah itu ke tungku pemanas di rumah mereka.
Tumpukan kayu bakar itu sebagai persiapan menghadapi musim dingin untuk menggantikan pemanas ruangan di tengah krisis energi di Eropa. Biasanya mereka mengandalkan gas alam untuk menghangatkan tubuh pada pagi hari dan menggunakan kayu bakar pada malam hari.
Namun, pasokan gas sekarang lebih sedikit sehingga menciptakan krisis energi di Moldova. Kalaupun ada gas, harganya sudah naik berlipat-lipat, lebih dari tiga kali lipat daripada harga tahun lalu.
Begitulah, malapetaka energi itu kini terjadi di negara maju. Sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia akibat serangannya ke Ukraina ternyata menjadi senjata makan tuan. Rusia membalas sanksi itu dengan mengurangi pasokan gas ke Eropa hingga nyaris 50% dan masih akan terus berlangsung.
Raksasa energi Rusia, Gazprom, misalnya, memangkas pasokan gas alam hingga 30% ke Moldova dan mengancam lebih banyak pemotongan lagi. Eropa selama ini mendapatkan 40% pasokan gasnya dari Rusia. Tahun lalu, Moskow mengirim sekitar 155 miliar meter kubik (bcm) gas alam cair ke ‘Benua Biru’ itu. Ribuan perusahaan pun terancam gulung tikar.
Indonesia memang akan mendapatkan windfall profit dari batu bara, CPO, ataupun produk mineral lainnya akibat krisis energi di Eropa itu. Namun, keuntungan dari rezeki nomplok itu tidak mampu menutup kenaikan harga LPG dan minyak dunia.
Maka itu, berhemat dalam menggunakan energi juga kiranya tepat untuk dilakukan dan menjadi gerakan massal. Apalagi Indonesia tergolong negara yang boros dalam penggunaan energi. Salah satu indikatornya ialah potensi penghematan energi Indonesia dalam berbagai sektor, termasuk rumah tangga, yang berdasarkan sebuah kajian mencapai 10%-35%.
Khusus untuk listrik, kalau dikonversikan, potensi penghematan konsumsi sektor rumah tangga sebesar 10% setara dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap berkapasitas 900 megawatt (MW). Jadi, nilainya sangat besar.
Pada saat bersamaan, peta jalan untuk keluar dari 'jebakan' ketergantungan terhadap energi fosil mesti ketat dijalankan. Selama ini kita masih kerap berkompromi. Namun, petaka energi di Eropa memberi pelajaran amat berarti, bahwa segala sesuatu bisa terjadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Abdul Kohar
Dewan Redaksi Media Group