Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. MI/Ebet
Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. MI/Ebet (Abdul Kohar)

Abdul Kohar

Dewan Redaksi Media Group

Menghormati yang Terhormat

Abdul Kohar • 19 Februari 2022 06:30
MENYANDANG sebutan 'yang terhormat' di negeri ini ternyata susah. Alih-alih membuat bangga, sebutan itu berpotensi memantik emosi bila orang lain tidak sensitif. Apalagi bila banyak yang menganggap sebutan itu biasa-biasa saja, tidak seistimewa julukannya.
 
Badan bisa pegal-pegal dibuatnya karena menahan gelisah. Otot bisa makin kejang menahan gejolak emosi jiwa karena anggapan enteng atas sebutan itu. Bahkan, mendengarkan lagu Santai karya Rhoma Irama pun tak cukup mampu mengendurkan saraf-saraf yang tegang, buah dari 'peremehan' atas sandangan 'yang terhormat' itu.
 
Terlebih lagi bila sebutan 'yang terhormat' tadi sudah di-SK-kan. Sudah resmi masuk protokoler. Telah sah menjadi rambu-rambu. Bukan sekadar petatah-petitih. Tidak pula cuma basa-basi. Pokoknya bukan semata macan kertas. Bisa memicu murka bagi pemiliknya bila ada yang berani meremehkan panggilan 'yang terhormat' tersebut.
 
Karena itu, harap maklum bila akhir-akhir ini ada sejumlah pemilik julukan 'yang terhormat' suka marah-marah. Tidak usah heran bila 'yang terhormat' gemar mengusir tamu, bahkan gara-gara si tamu sekadar memotong pembicaraan tuan rumah. Secara sopan pula. Atau, jangan masygul bila ada pula 'yang terhormat' menyemprot kanan-kiri karena merasa tidak dijamu saat bertamu. Itu semua bagian dari mekanisme melepas kepegalan setelah memendam gelisah karena merasa tidak dianggap sebagai 'yang terhormat'. Itu aksi penyaluran emosi agar tidak berujung menjadi penyakit yang berpotensi menggerus imunitas. Sekaligus, itu juga semacam peringatan agar orang lain tidak main-main dengan sebutan 'yang terhormat'.
 
Begitulah yang terjadi di parlemen kita hingga saat ini. Kendati sudah 'menjadi SK', sebutan 'yang terhormat' kiranya tetap butuh upaya ekstra untuk menegakkannya sebagai rambu-rambu yang harus dihormati dan wajib ditaati. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah tamu yang diusir dari rapat karena dianggap melanggar rambu-rambu tersebut.
 
Baru memasuki bulan kedua tahun ini saja, misalnya, sudah ada tiga 'tamu' diusir. Ketiganya ialah Sekjen Kementerian Sosial, peserta rapat dari Komnas Perempuan, dan terbaru Direktur Utama PT Krakatau Steel. Meski dalam momen terpisah dan berbeda, ketiganya sama-sama diusir hanya karena soal-soal sepele.
 
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani diusir dari ruang rapat, tengah bulan lalu, karena datang terlambat. Padahal, menurut Komnas Perempuan, selain undangan yang mendadak, pihaknya sudah menginformasikan sebelumnya kepada kesekretariatan di DPR bahwa Andy mungkin datang terlambat dalam rapat karena ada hal mendesak. Rupanya, hal itu memicu sejumlah anggota dewan yang terhormat tersinggung.
 
Sepekan setelah itu, giliran sejumlah anggota Komisi VIII DPR meminta Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Harry Hikmat meninggalkan ruangan saat rapat antara Komisi VIII dan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Harry diminta keluar dari ruangan setelah para anggota Komisi VIII mempersoalkan komunikasi Harry ke Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan yang dinilai tidak pantas. Menurut Ace, Sekjen Kemensos menyebut dia sinis karena kerap tidak datang saat diundang ke Kemensos.
 
Pekan ini, giliran Dirut PT Krakatau Steel Silmy Karim yang diusir Wakil Ketua Komisi VII DPR Bambang Haryadi dalam rapat. Silmy diusir dalam rapat lantaran sempat memotong pembicaraan Bambang Haryadi yang kala itu menjadi pemimpin rapat. Silmy 'menginterupsi' seraya bertanya karena tidak paham maksud pernyataan 'maling teriak maling' yang dilontarkan Bambang.
 
Saat itu, Bambang sedang memberikan tanggapan terkait dengan paparan yang disampaikan Silmy mengenai persoalan yang terjadi di pabrik baja sistem tanur tinggi atau blast furnace milik Krakatau Steel. “Anda tolong hormati persidangan ini. Ada teknis persidangan. Kok, kayaknya Anda enggak menghargai Komisi? Kalau sekiranya Anda enggak bisa ngomong di sini, Anda keluar," ucap Bambang.
 
Intensitas pengusiran oleh anggota dewan terhadap mitra mereka yang cukup sering menandakan tingkat kegelisahan, mungkin kegeraman, yang sudah akut. Perkara 'rendahnya' disiplin menghormati 'yang terhormat' sepertinya masih dipandang memiliki tingkat kegawatdaruratan tinggi oleh parlemen sehingga perlu ditegakkan. Tingkat kegawatannya mungkin sudah selevel dengan perlu segera disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
 
Para bijak bestari mengatakan kehormatan itu didapat, bukan dituntut. Didapat itu artinya terjadi karena pihak lain menilai sikap, tindakan, kebijakan, dan kebajikan kita memang telah melampaui standar-standar dasar, sedangkan tuntutan itu serupa target, permintaan, desakan karena standar-standar dasar belum terpenuhi.
 
Kehormatan itu didapatkan mereka yang berhak. Lalu, di level 'mendapat' atau 'menuntut'-kah anggota parlemen kita?
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar politik dprd DPR RI

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif