Hamid Basyaib. Foto: Istimewa
Hamid Basyaib. Foto: Istimewa (Hamid Basyaib)

Hamid Basyaib

Mantan wartawan dan penulis sejumlah buku

Toleransi Total Haji Agus Salim

Hamid Basyaib • 01 Februari 2022 17:27

Locke, seorang penganut Protestanisme yang taat, juga tidak memberi tempat pada warga negara non-religius atau kaum ateis. Ia mendesak penguasa untuk tidak menoleransi ateisme. Baginya, penyangkalan terhadap eksistensi Tuhan akan merusak tata sosial dan menimbulkan kekacauan.
 
Di titik ini ia juga melawan prinsip negara modern, dengan melakukan diskriminasi terhadap warga negara atas dasar ketidakberagamaan (yang dalam hal ini setara dengan keberagamaan). Konsekuensi dari intoleransi Locke bisa sangat jauh. Warga negara yang tidak menganut suatu agama mungkin boleh ditumpas. Atau pantas dipersulit hidupnya. Atau setidak-tidaknya hak-hak hukum mereka sebagai warga negara tidak perlu dipenuhi oleh negara.
 
Kumpulan warga negara yang beragama pun berpotensi menghakimi warga negara yang tak beragama dengan dalih menjalankan kewenangan negara, ketika mereka lihat aparat negara tidak diskriminatif terhadap warga yang ateis.
 
Padahal, mengikuti resep John Locke, negara harus diskriminatif. Maka negara diletakkan di atas kemanusiaan. Negara sah untuk menginjak-injak kemanusiaan sekadar atas dasar kewajiban pemelukan agama bagi warga negara —terlepas bahwa isi ajaran agama itu sendiri mungkin justeru memuliakan kemanusiaan. *
 
Haji Agus Salim, menurut Sukidi, tampil tegas dengan ide yang implikasinya adalah mengoreksi posisi John Locke yang diskriminatif. Dan yang mengagumkan, Agus Salim bukan bertolak dari filsafat luar, atau meminjam ide filosof lain yang berseberangan dengan Locke, melainkan bertumpu pada ajaran agama yang dianutnya (Islam), yang juga agama mayoritas bangsanya.
 
Ia tidak memperlakukan toleransi terhadap penganut agama-agama lain sebagai hadiah atau sikap tenggang rasa yang terpuji dari penganut Islam. Ia meyakini, berdasarkan tafsirnya atas Quran, bahwa keberagamaan atau ketakberagamaan seorang warga negara sepenuhnya adalah haknya sebagai manusia, tak lebih dan tak kurang.
 
Maka penganutan warga negara terhadap agama apa pun harus diberi kemerdekaan mutlak oleh negara. Penghormatan ini bukan berkah atau belas kasihan dari penganut agama mayoritas yang direpresentasikan oleh negara. Hak yang sama harus diberikan pula kepada warga negara yang tidak menganut agama apa pun atau kaum ateis.
 
Gagasan-gagasan fundamental Agus Salim tersebut disajikannya melalui pelbagai tulisan dan buku. Tentunya ia sampaikan pula di forum-forum rapat Panitia Sembilan, kelompok sembilan pendiri bangsa yang dipimpin Bung Karno, yang diberi mandat oleh forum Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan karena forum besar itu buntu dalam isu rumusan final sila pertama Pancasila.
 
Hasil akhirnya kita semua tahu: sila pertama kemudian berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan tujuh kata sambungannya disepakati dihapus (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”).
 
Haji Agus Salim (Bukittinggi 1884 -Jakarta 1954), bernama asli Masyhudul Haq (Pembela Kebenaran), adalah pahlawan nasional yang dijuluki The Grand Old Manberkat pengetahuannya yang luas, dengan penguasaan sembilan bahasa asing (Eropa dan Asia). Ia eksentrik. Ia, misalnya, tidak menyekolahkan kedelapan anaknya; mereka diajarinya sendiri di rumah, jauh sebelum istilah homeschooling disebut orang.

 
Halaman Selanjutnya
Kehadiran para tamu yang tak…
Read All
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar pancasila nkri islam toleransi beragama

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif