Ilustrasi. Metrotvnews.com
Ilustrasi. Metrotvnews.com (Nono Sampono)

Nono Sampono

DPD Quo Vadis?

Nono Sampono • 26 September 2014 08:36
Oleh: Nono Sampono Anggota DPD 2014-2019 terpilih dari Provinsi Maluku
 
Artikel ini diambil dari harian Media Indonesia edisi Jumat (26/9/2014)
 
PEMBANGUNAN Indonesia harus bertolak dari karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim, tempat ide, cita-cita, dan kehendaknya telah termaktub dalam Pancasila. Bangsa yang membangun, memburu kemajuan, tetapi melupakan karakternya akan terpuruk secara berulang, terus terjebak dalam siklus involutif.
 
Sengaja gagasan tentang karakter bangsa dikedepankan dalam menimbang peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ke depan. Selain demi menyegarkan ingatan tentang sejatinya kita sebagai bangsa, itu juga untuk menghadirkan optimisme para senator dan legislator terpilih untuk periode pengabdian 2014-2019 bahwa segala usaha memajukan bangsa ini tidak akan pernah menemui jalan buntu sepanjang bertolak dari karakter bangsa sendiri. Setelah satu dekade keberadaan DPD pascareformasi, terhitung sejak 128 anggotanya pertama kali dilantik pada 1 Oktober 2004, DPD masih mengemban dua fungsi utama. Pertama, mengajukan usul, ikut membahas dan memberikan pertimbangan terkait dengan bidang legislasi tertentu. Kedua, mengawasi pelaksanaan undang-undang (UU), berkaitan dengan masalah-masalah daerah.
 
Wewenang DPD memang masih jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dan setara dalam sebuah parlemen bikameral. Selain itu, sifat kelembagaannya pun masih perlu penguatan. Selama satu dekade ini, ada anggapan bahwa amendemen ke-5 UUD 1945 sebagai jalan satu-satunya untuk memperbesar fungsi, peran, dan wewenang DPD. Banyak usaha telah ditempuh untuk merealisasikan amendemen ke-5 ini, tetapi belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan.
 
Belum menguatnya posisi dan wewenang DPD sama sekali bukan berarti tiadanya jalan untuk berkontribusi bagi penataan negara menuju keadaan yang lebih sempurna. Membanding-bandingkan model bikameral yang berlaku di Indonesia dengan negara-negara yang sudah lebih dulu menempuh jalan demokrasi, seperti Amerika Serikat, jika membuat mental pengabdian kita surut, sangatlah tidak produktif. Bagaimanapun, dinamika setiap bangsa memiliki kekhasannya sendiri. Sejarah kemajuan bangsa-bangsa tidak seperti sedang antre tiket. Setiap bangsa tetap harus bertolak dari karakter kepribadian dan kesadaran akan wilayah hidupnya dalam menempuh jalan kemajuannya sendiri.
 
Perlu tekanan
 
Dengan peran dan fungsinya sekarang, DPD masih bisa berkiprah secara signifikan bagi penataan negara. Waktu satu dekade yang telah dihabiskan untuk memperjuangkan amandemen ke-5 tampaknya harus diimbangi dengan usaha lain yang lebih produktif, kreatif. Usaha yang dimaksud ialah perlunya melibatkan publik agar menjadi kelompok pendesak yang efektif.Besarnya tekanan publik akan menjadikan dinamika politik Indonesia secara keseluruhan menjadi urusan publik sampai tercipta kondisi yang meniscayakan dilakukannya amendemen ke-5 UUD 1945 sebagai usaha menyempurnakan sistem ketatanegaraan Indonesia.
 
Publik Indonesia harus memahami secara komprehensif. Setelah empat kali amendemen, terjadi pengelompokan sikap di lingkungan pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Kelompok pertama cenderung konservatif, menghendaki UUD 1945 dikembalikan kepada aslinya. Kelompok kedua memihak status quo, yang ingin berpegang pada UUD 1945 hasil amendemen ke-4. Kelompok ketiga, yang seharusnya menjadi arus utama, menghendaki dilakukannya amendemen ke-5 untuk menyempurnakan sistem tata negara Indonesia.
 
Dalam konteks penyempurnaan tersebut, amendemen ke-5 UUD 1945 merupakan conditio sine qua non bagi penyempurnaan sistem ketatanegaraan RI. Amendemen ke-5 menjadi syarat mutlak, paling tidak, selain terkait dengan DPD, masih banyak problem penataan sistem yang harus terus disempurnakan; penegakan prinsip presidensialisme dan hubungannya dengan sistem multipartai yang berjalan selama ini, hubungan pusat daerah yang lebih adil, sistem pemilu nasional dan lokal, dan isu lainnya yang bersifat mendasar. Pemberian wewenang yang lebih besar kepada DPD harus menjadi bagian dari penguatan lembaga demokrasi perwakilan yang memiliki legitimasi kuat sebagai kamar kedua di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
 
Lebih dari itu, sebagai Indonesia yang terdiri atas wilayah yang sangat luas dan kepulauan yang banyak, pemberian wewenang yang setara dalam model bikameral DPD-DPR kebutuhan mendasar dalam mengelola Negara Kesatuan Republik Indonesia. DPR merupakan jelmaan kepentingan politik partai atas dasar orang (people). Sementara itu, DPD merupakan jelmaan kepentingan politik atas dasar wilayah (geografis). Kedua-duanya memiliki bobot yang sama pentingnya dalam dinamika pembangunan bangsa dan negara. Kedua-duanya harus menjadi representasi dari dua karakter bangsa dan negara Indonesia.
 
Penguatan partisipasi publik
 
DPD sesungguhnya masih bisa memaksimalkan peran dan fungsinya seandainya bisa menggerakkan partisipasi publik secara efektif baik di tingkat nasional maupun daerah.
 
Para anggota DPD dipilih secara langsung oleh rakyat daerah. Legitimasi yang sangat kuat tersebut merupakan modal penting yang dimiliki anggota DPD untuk menggerakkan publik dan memper oleh dukungan dari mereka. Berbeda dengan anggota DPR, anggota DPD lebih otonom dan independen dalam mem perjuangkan kemajuan pembangunan di daerah.
 
Setelah satu setengah dekade berjalan, kritik terhadap otonomi daerah dalam kerangka hubungan pusat-daerah terus bermunculan. Hubungan pusat-daerah yang masih menyimpan banyak problem merupakan modal lain, isu penting yang masih dan akan terus relevan bagi penguatan peran DPD. Pembangunan belum merata, ada ketimpangan antarwilayah, antarpulau, antardaerah, dan hal-hal spesifik yang terkait dengan persoalan kewilayahan; provinsi kelautan, daerah perbatasan, dll. Masyarakat di daerah menunggu kiprah DPD untuk membuat Indonesia lebih adil, lebih merata, dan setara.
 
Terhadap pelaksanaan otonomi daerah, peran kritis DPD dalam melaksanakan fungsi pengawasan pembangunan di daerah juga sangat diharapkan. Dalam memerangi korupsi di daerah, DPD dapat menjadi partner bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kewenangan DPRD provinsi, kabupaten/kota, terbatas dalam menjalankan fungsi pengawasan jalannya pemerintahan dan pembangunan di daerah, di saat selama ini DPRD cenderung menjadi partner eksekutif (kepala daerah). Maka ke depan DPD dan DPRD bisa saling memperkuat. Jika DPD ke depan sanggup melibatkan publik luas, tentu akan bisa berkontribusi dalam melakukan langkah-langkah legal konstitusional dalam rangka mengembalikan fungsi kontrol legislatif terhadap eksekutif di daerah yang dari ke hari kian melemah.
 
Kembali libatkan publik. Inilah arah langkah DPD ke depan. Pada isu amendemen ke-5 UUD 1945 serta dinamika hubungan pusat dan daerah, desakan publik itu seharusnya digerakkan secara efektif. Ada optimisme pencapaian untuk kedua hal tersebut, mengingat dari 132 senator terpilih periode pengabdian 2014­-2019, lebih dari separuhnya (81 senator) merupakan wajah-wajah baru yang bergairah menggerakkan perubahan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase opini

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif