Banyak ulama menafsirkan ayat-ayat haji dengan pendekatan fikih yang normatif, namun tokoh-tokoh tasawuf memberikan warna lain: pendekatan sufistik yang mengungkap dimensi batin dari ibadah ini.
Salah satu tokoh penting dalam khazanah tafsir sufistik di Nusantara adalah Kyai Haji Soleh Darat.
Kyai Soleh Darat atau lengkapnya K.H. Muhammad Sholeh bin Umar as-Samarani (1820–1903 M) adalah ulama besar dari Semarang yang menjadi rujukan penting dalam pendidikan dan dakwah Islam di tanah Jawa. Ia dikenal sebagai guru dari para ulama besar seperti Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Munawwir Krapyak, dan RA Kartini.
Melalui karya-karyanya dalam bahasa Jawa aksara pegon, ia membumikan ilmu-ilmu Islam, termasuk tafsir, fiqih, dan tasawuf, agar dapat dipahami oleh masyarakat awam.
Salah satu karya monumental beliau adalah Tafsir Faidhur Rahman, sebuah tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa dengan pendekatan sufistik yang kuat.
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, 'Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.'"(QS. Al-Baqarah: 125)
Dalam Tafsir Faidhur Rahman, Kyai Soleh Darat menafsirkan ayat ini dengan pendekatan sufistik yang mendalam. Beliau menulis dalam bahasa Jawa pegon:
“Lan elinga nalika Ingsun ngedegake Baitullah, yaiku Ka’bah, dadi panggonan bali menungsa, lan panggonan aman... Ing kono ana panggonan shalat, yaiku maqome Nabi Ibrahim. Parintahing Allah marang Nabi Ibrahim lan Nabi Ismail, supaya resiki (resikna) omahing Ingsun, kanggo wong thawaf, wong i’tikaf, wong ruku’, lan wong sujud.”
Terjemahannya:
"Dan ingatlah ketika Aku menjadikan Baitullah, yaitu Ka'bah, sebagai tempat kembali manusia dan tempat yang aman... Di sana terdapat tempat salat, yaitu maqam Nabi Ibrahim. Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah agar mereka membersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud."
Kyai Soleh menafsirkan "resiki omahing Ingsun" (bersihkan rumah-Ku) bukan sekadar membersihkan bangunan fisik, tetapi mensucikan hati sebagai baitullah batiniah. Hati manusia adalah "rumah Allah" yang harus dibersihkan dari sifat riya’, dengki, tamak, dan cinta dunia, agar layak untuk “dihuni” oleh nur Ilahi.
Lebih lanjut, ia menulis:
“Maqom iku ora mung panggonan tapake Nabi Ibrahim, nanging nuduhake derajat lan martabat iman. Wong kang solat ing kono kudu eling lan nglakoni laku kaya Nabi Ibrahim sing pasrah lan tresna tenan marang Pangeran.”
Terjemah:
"Maqam bukan hanya tempat pijakan Nabi Ibrahim, tetapi menunjukkan derajat dan martabat keimanan. Orang yang salat di sana harus mengingat dan meneladani perjalanan spiritual Nabi Ibrahim yang penuh kepasrahan dan cinta sejati kepada Allah."
Penafsiran Kyai Soleh Darat mengajarkan bahwa berhaji tidak cukup hanya dengan fisik. Yang lebih utama adalah berhaji dengan hati: menempuh perjalanan ruhani menuju Tuhan, membersihkan hati dari keraguan, kesombongan, dan keterikatan duniawi.
Dalam dunia yang serba cepat dan materialistis, tafsir sufistik beliau mengingatkan kita untuk melambat, merenung, dan kembali pada tujuan hidup sejati: mencari rida Allah.
Zaman boleh berganti, tetapi esensi spiritualitas tetap abadi. Dalam konteks kebangsaan, pesan Kyai Soleh Darat menantang kita untuk menghadirkan "rumah yang bersih" di tengah masyarakat: tempat yang aman, damai, dan menjadi titik kumpul spiritual dan sosial.
Dalam konteks pesantren, tafsir beliau mengajak santri dan kyai untuk tidak hanya mencetak hafidz dan mufti, tetapi juga para salik (penempuh jalan spiritual) yang menebar kedamaian dari hati yang bersih.
Sudahkah kita menjadikan ibadah haji sebagai perjalanan menyucikan hati, bukan sekadar menggugurkan kewajiban?
Sudahkah bait dalam diri kita menjadi tempat yang bersih dan damai bagi cahaya Ilahi? Penafsiran sufistik Kyai Soleh Darat mengajak kita merenung lebih dalam: bahwa Ka'bah bukan hanya di Makkah, tetapi juga di dalam dada setiap insan yang mencari Tuhan.
Mari kita hidupkan kembali semangat Nabi Ibrahim dalam kehidupan sehari-hari—membersihkan diri dari kesombongan, menata ulang arah hidup, dan menegakkan maqam-maqam ruhani dalam dunia yang penuh hiruk pikuk.
Semoga kita tidak hanya menjadi orang yang pernah berhaji ke Tanah Suci, tetapi benar-benar menjadi hamba yang disucikan oleh perjumpaan sejati dengan-Nya.
Oleh: Puji Raharjo Soekarno
Deputi Koordinasi Layanan Haji Dalam Negeri Badan Penyelenggara Haji RI/Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung