Ketua Yayasan  Cinta Cisadane Nusantara, Eriko Silaban
Ketua Yayasan Cinta Cisadane Nusantara, Eriko Silaban

Sungai Cisadane dan Ketahanan Lingkungan

Muhammad Syahrul Ramadhan • 19 September 2025 14:26
Sungai Cisadane adalah salah satu sungai besar yang menjadi nadi ekologis, sosial, dan ekonomi di Jawa Barat dan Banten. Dengan panjang sekitar 126 kilometer, sungai ini berhulu di Gunung Pangrango dan disuplai juga oleh mata air Gunung Salak lalu mengalir melalui Bogor, membelah wilayah Tangerang, hingga bermuara di Tanjung Burung. 
 
Sejak lama, Cisadane bukan hanya sebatas aliran air, tetapi juga sumber kehidupan, identitas budaya, dan ruang sosial masyarakat. Tradisi Festival Cisadane dan ritual ruwatan sungai menunjukkan keterikatan historis antara manusia dan alam. 
 
Namun demikian, perkembangan aktivitas masyarakat dan industrialisasi dalam beberapa dekade terakhir membawa tekanan besar terhadap daya dukung sungai. Banjir musiman, longsor, pencemaran limbah industri, dan tumpukan sampah plastik telah mendorong Cisadane ke ambang krisis ekologis. Dalam situasi ini, konsep ketahanan lingkungan menjadi aspek penting untuk memahami kapasitas sungai ini bertahan, beradaptasi, dan pulih.

Ketahanan dapat didefinisikan sebagai kapasitas suatu sistem, baik alam, sosial, ekonomi, maupun gabungan antaranya, untuk bertahan, beradaptasi, dan pulih ketika menghadapi gangguan, tekanan, atau perubahan, tanpa kehilangan fungsi, struktur, dan identitas utamanya, serta dengan kemampuan untuk bertransformasi bila diperlukan guna menjamin keberlanjutan jangka panjang. 
 
Dalam literatur ekologi, kajian tentang ketahanan terbagi ke dalam dua kelompok besar dengan fokus yang berbeda (Donohue et al., 2013). Kelompok pertama adalah penelitian tentang stabilitas ekologi tradisional yang berasumsi bahwa pola dan proses ekologis beroperasi dalam satu rezim keseimbangan (basin of attraction). Konsep-konsep dalam kelompok ini berfokus pada resistensi, persistensi, variabilitas, dan ketahanan. 
 
Untuk memperjelas perbedaan dengan pendekatan lain, ketahanan dalam kerangka ini biasanya disebut engineering resilience (Gunderson, 2000), yang identik dengan kemampuan sistem untuk pulih, bangkit kembali, dan kembali ke kondisi semula (Angeler & Allen, 2016).
 
Pengukuran stabilitas ekologi ini berguna untuk mengkarakterisasi respon ekosistem setelah terganggu, misalnya sejauh mana suatu sistem menyimpang, berfluktuasi, dan pulih pasca gangguan. Akan tetapi, ukuran ini tidak menangkap sifat sistem adaptif kompleks dari ekosistem, yakni interaksi rumit faktor abiotik dan biotik serta kemungkinan munculnya rezim alternatif, misalnya danau yang berubah dari kondisi jernih ke keruh. Kompleksitas perilaku sistem adaptif inilah yang kemudian dikenal sebagai ecological resilience (Gunderson, 2000). 
 
Konsep ini kian menarik perhatian para ilmuwan, baik dalam ilmu alam, penilaian risiko, maupun desain infrastruktur. Ecological resilience menekankan kapasitas adaptif, yakni seberapa besar gangguan dapat diserap sebelum sistem melewati ambang batas yang menyebabkan reorganisasi substansial dalam struktur dan fungsi sehingga stabil pada rezim alternatif.
 
Dalam konteks Sungai Cisadane, kedua konsep ini dapat digunakan untuk memahami masalah sekaligus mencari solusi. Dari sisi engineering resilience, pertanyaannya adalah sejauh mana Cisadane dapat pulih kembali setelah banjir, longsor, atau pencemaran. 
 
Sedangkan dari sisi ecological resilience, fokusnya adalah apakah sistem sungai masih mampu menyerap tekanan berulang tanpa beralih ke kondisi baru yang lebih buruk, misalnya rezim sungai tercemar permanen dengan keanekaragaman hayati rendah.
Tiga masalah utama Cisadane memperlihatkan relevansi dua pendekatan ini. 
 
Pertama adalah banjir tahunan di Tangerang yang dipicu oleh curah hujan ekstrem di hulu dan menyusutnya daerah resapan. Dari sudut engineering resilience, perbaikan pintu air, tanggul, dan kolam retensi adalah upaya untuk mempercepat pemulihan. 
 
Tetapi dari sudut ecological resilience, banjir berulang menunjukkan jika sistem telah kehilangan kapasitas adaptif, karena ruang sungai semakin sempit dan fungsi resapan hilang, sehingga banjir bisa menjadi rezim baru yang permanen. 
 
Kedua, longsor dan erosi bantaran di Bogor sering merusak rumah serta infrastruktur. Secara engineering resilience, solusi teknis seperti bronjong atau tanggul dapat menahan tebing. Tetapi secara ecological resilience, permukiman ilegal di bantaran dan hilangnya vegetasi menunjukkan reorganisasi struktural yang jika terus berlangsung akan mengubah fungsi sungai secara permanen. 
 
Ketiga, pencemaran air akibat limbah industri dan sampah plastik adalah ancaman paling serius. Secara engineering resilience, pencemaran bisa dipulihkan dengan instalasi pengolahan air limbah. Tetapi jika ambang adaptif terlampaui, Cisadane bisa jatuh ke rezim alternatif, yakni sungai tercemar permanen yang kehilangan biodiversitas dan gagal menyediakan air layak.
 
Kerangka hukum sebenarnya sudah ada. UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, serta RTRW Kota Tangerang 2012–2032 dll., menegaskan sempadan Cisadane sebagai kawasan lindung. Namun demikian, lemahnya penegakan hukum membuat regulasi tersebut tidak efektif. 
 
Permukiman ilegal masih berdiri di bantaran, industri kerap membuang limbah, dan sanksi hukum jarang diterapkan. Hal ini menandakan lemahnya governance resilience, yaitu kapasitas kelembagaan untuk menjaga sistem agar tetap adaptif menghadapi tekanan.
Membangun ketahanan Cisadane menuntut strategi yang menggabungkan engineering resilience dan ecological resilience. 
 
Dari sisi engineering resilience, perlu dibangun infrastruktur adaptif: tanggul alami, kolam retensi, dan sistem peringatan dini untuk banjir. Dari sisi ecological resilience, strategi harus menyentuh transformasi tata guna lahan dan perilaku sosial. Inspirasi global memberikan pelajaran berharga. 
 
Revitalisasi Cheonggyecheon di Seoul menunjukkan keberanian politik mengubah sungai kumuh menjadi ruang publik sehat. Proyek River of Life di Kuala Lumpur memperlihatkan integrasi sanitasi dan wisata kota. Konsep Room for the River di Belanda menekankan pentingnya memberi ruang bagi sungai untuk meluap secara terkendali. Jika diadaptasi ke Cisadane, strategi tersebut dapat meliputi relokasi warga bantaran, rehabilitasi hutan hulu melalui agroforestri, pembangunan sabuk mangrove di hilir, dan pengembangan ekowisata sebagai insentif sosial-ekonomi.
 
Masyarakat adalah pilar utama dalam ketahanan lingkungan. Partisipasi publik membuat strategi teknis menjadi lebih kokoh. Komunitas Banksasuci di Tangerang membuktikan bahwa pengelolaan sampah dapat disinergikan dengan pemberdayaan ekonomi. Keterlibatan warga dapat diarahkan pada tiga ranah: edukasi lingkungan di sekolah dan komunitas, pengembangan ekonomi hijau seperti bank sampah dan urban farming, serta ekowisata berbasis komunitas yang memadukan nilai ekonomi dan budaya. Dengan hal itu, Cisadane tidak hanya dipandang sebagai objek kebijakan pemerintah, tetapi juga ruang kolektif yang dijaga bersama.
 
Sekalipun peluang revitalisasi terbuka, tantangan yang dihadapi selalu ada. Lemahnya penegakan hukum, fragmentasi kelembagaan antara hulu dan hilir, keterbatasan pendanaan, serta dampak perubahan iklim berupa curah hujan ekstrem dan intrusi air laut menurunkan kapasitas adaptif sistem. 
 
Rekomendasi yang dapat diajukan antara lain memperkuat sanksi hukum, menerapkan model pengelolaan terpadu lintas wilayah (Integrated Water Resources Management), mengembangkan skema pendanaan inovatif seperti green bond atau carbon credit, serta memanfaatkan teknologi digital untuk pemantauan kualitas air dan prediksi banjir. Keterlibatan generasi muda melalui pendidikan dan gerakan komunitas akan memastikan keberlanjutan yang bersifat jangka panjang.
 
(Eriko Silaban)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(RUL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan