Transformasi dalam dua aspek tata kelola pendidikan tinggi tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Transformasi dalam standar nasional pendidikan tinggi direfleksikan dalam beberapa hal yang cukup signifikan diantaranya ruang lingkup dari standar, standar kompetensi lulusan, dan standar proses pembelajaran dan penilaian.
Sebagai contoh, dalam standar kompetensi lulusan, tugas akhir dari mahasiswa sarjana/ sarjana terapan tidak harus selalu dalam bentuk skripsi, tetapi dapat berupa prototipe, proyek, atau bentuk lainnya. Contoh lainnya adalah soal alokasi (pembagian) waktu untuk 1 SKS. Standar nasional sebelumnya mengatur terlalu rinci, yaitu tatap muka 50 menit per minggu, penugasan terstruktur 60 menit per minggu, dan kegiatan mandiri 60 menit per minggu.
Sekarang, di dalam standar nasional pendidikan tinggi yang baru, telah disederhanakan menjadi 1 SKS didefinisikan sebagai 45 jam per semester. Selain itu, standar ini menjadi lebih fleksibel karena pembagian waktu ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi. Tentu hal ini akan memerdekakan perguruan tinggi untuk mencapai hasil pembelajaran terbaik bagi mahasiswanya.
Satu hal lagi yang diluncurkan dalam Merdeka Belajar episode ke-26 adalah kaitannya dengan akreditasi pendidikan tinggi. Ada beberapa transformasi akreditasi perguruan tinggi, di antaranya adalah program studi yang telah memperoleh akreditasi internasional, tidak perlu lagi menjalani proses akreditasi nasional. Kemudian, jika sebelumnya proses akreditasi harus dilakukan terhadap masing-masing program studi, di dalam peraturan yang baru ini, proses akreditasi dapat dilaksanakan pada tingkat unit pengelola program studi, yaitu departemen/jurusan/sekolah/fakultas.
Salah satu dampak positif dari transformasi ini adalah beban administrasi dari dosen akan berkurang secara signifikan karena dengan penyederhanaan akreditasi ini, dosen tidak lagi banyak dilibatkan sebagai task force dalam penyusunan borang akreditasi maupun dalam mempersiapkan assessment akreditasi.
Filosofi utama dan aspek fundamental dalam transformasi ini adalah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada perguruan tinggi lebih spesifik lagi program studi untuk membangun ruang, ekosistem dan atmosfer inovasi kepada mahasiswa dan dosen dalam pembelajaran, riset, dan pengabdian masyarakat.
Perguruan tinggi sewajarnya harus lebih adaptif dalam mengikuti perkembangan di dunia usaha dan dunia industri serta perubahan di masyarakat yang semakin cepat dinamis seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Perguruan tinggi menjadi salah satu garda depan dalam pencapaian Visi Emas Indonesia 2045 yang telah diluncurkan 2019. Salah satu pilar dalam Visi Emas tersebut adalah pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di mana dunia pendidikan khususnya pendidikan tinggi memegang peranan penting.
Transformasi ini tentu saja sejalan, melengkapi dan mendukung program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) yang telah diluncurkan dan diimplementasikan sejak tahun 2020. Kebijakan ini telah ditunggu dan disambut secara positif oleh berbagai pihak khususnya civitas akademika.
Tantangan bagi Perguruan Tinggi
Tranformasi standar nasional dan akreditasi pendidikan tinggi ini merupakan terobosan yang secara umum saya yakin akan didukung oleh warga kampus (civitas akademika) utamanya dosen dan mahasiswa. Ada beberapa tantangan ke depan bagi perguruan tinggi dalam mengimplementasikan transformasi ini agar tujuan dari transformasi ini dapat dicapai dan dampak positifnya bisa diperoleh secara signifikan utamanya oleh mahasiswa dan lulusan:
Yang pertama, program studi akan lebih berperan penting dalam implementasi kebijakan ini utamanya dalam mendefinisikan dan merumuskan kompetensi lulusan yang obyektif, relevan dan adaptif. Masing-masing program studi perlu memiliki dan merumuskan penciri/ pembeda program studinya dibandingkan dengan program studi yang sama di perguruan tinggi yang lain. Kolaborasi dengan dunia industri dan dunia usaha yang relevan sejak penyusunan rumusan kompetensi lulusan program merupakan salah satu strategi yang perlu dilakukan.
Yang kedua, masing-masing program baik studi vokasi, sarjana, magister dan doktor perlu menyusun kembali standar (bentuk) tugas akhir bagi mahasiswa yang relevan, memberi ruang gerak bagi mahasiswa untuk berinovasi. Namun demikian, mutu dari jenis tugas akhir tersebut harus dapat dijaga kualitasnya sesuai dengan rumusan kompetensi program studi.
Yang ketiga, beban administrasi dan manajerial dosen yang berkurang seiring dengan transformasi ini, harus dioptimalkan untuk revitalisasi tugas dosen dalam pelaksanaan tridharma perguruan tinggi. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus lebih mendorong, menyemangati dan memfasilitasi dosen untuk lebih fokus melakukan berbagai inovasi dalam bidang pembelajaran yang adaptif dan mendorong semangat belajar mahasiswa, mengembangan riset-riset yang berkualitas, dan melakukan program-program pengabdian masyarakat yang berdampak nyata.
Yang terakhir, secara makro, perguruan tinggi harus juga bertransformasi menjadi organisasi yang agile; memiliki orientasi kewirausahaan yang kuat baik secara organisasional maupun dalam pendidikan kepada mahasiswa; melakukan delivery pendidikan dan inovasi yang sangat relevan dengan konteks; memiliki digital mindset dan infrastruktur; dan melakukan kolaborasi aktif baik dalam bentuk triple helix, quadruple helix maupun penta helix.
Namun demikian, saya optimistis bahwa berbagai tantangan ini dapat dilalui pendidikan tinggi, jika civitas akademika mempelajari kebijakan secara utuh dan mengimplementasikan dengan penuh kesadaran, demi majunya pendidikan tinggi Indonesia.
Opini oleh:
Prof. Jamal Wiwoho
Rektor, Universitas Sebelas Maret
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News