Ilustrasi/Medcom.id
Ilustrasi/Medcom.id (Yudhie Haryono)

Yudhie Haryono

Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Ekonomi Konstitusi dan Konstitusi Ekonomi Kita

Yudhie Haryono • 13 April 2021 13:33
MENDISKUSIKAN ekonomi politik konstitusi atau konstitusi ekonomi tak lepas dari lima masalah penting. Pertama, soal gagasan, yakni bagaimana hal itu dikonstitusikan. Kedua soal kausalitas, yaitu apa sebab dan akibat dari munculnya gagasan tersebut. Ketiga, soal konsekuensi, yaitu apa antisipasi plus solusi dari berbagai persoalan yang muncul. Keempat, soal keidealan, yaitu apa lembaga yang perlu untuk mencapai keadilan dan kemerataan. Dan kelima soal perencanaan, yaitu lembaga konstitusional mana yang terbaik untuk merencanakan dan mengeksekusi setiap ada kendala di warga negara.
 
Merujuk pada kelima hal itu, perwujudannya menjadi tidak mudah dan cenderung sangat sulit. Namun, itulah kenyataan bagi upaya merealisasikan ekonomi yang berbasis konstitusi. Di negara mana pun, konstitusi ekonomi merupakan perangkat peraturan tertinggi yang menjadi dasar setiap kebijakan ekonomi. Konstitusi ekonomi mengatur sejak soal penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam, hak milik perorangan, hingga peran negara dan perusahaan negara (BUMN). Ujungnya adalah kemakmuran bersama.
 
Selain menjadi konstitusi politik, sesungguhnya UUD 1945 merupakan konstitusi ekonomi. Ia merupakan rujukan utama dalam setiap kegiatan kenegaraan, kemasyarakatan, serta kegiatan usaha. Semua kebijakan ekonomi Indonesia yang dituangkan dalam bentuk undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
 
Dalam sejarahnya, ide konstitusi ekonomi mudah diterima di negara-negara yang menganut sistem civil law. Tradisi negara yang menganut civil law cenderung terbiasa membuat pengaturan yang bersifat tertulis, termasuk di bidang perekonomian. Sebaliknya, pada tradisi common law yang dianut Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia cenderung tidak menganggap penting aturan tertulis mengenai perekonomian. Iman mereka bersandarkan pada pasar.

Empat buku rujukan

Agar fokus, kita bisa merujuk pada empat buku yang menyoal ide konstitusi ekonomi dan ekonomi konstitusi. Keempatnya adalah buku Dasar Perekonomian Indonesia dalam Penyimpangan Mandat Konstitusi UUD Negara Tahun 1945 (2013). Buku ini ditulis oleh Elli Ruslina. Buku kedua Ekonomi-Politik Pancasila (2015) yang ditulis oleh Yudhie Haryono. Buku ketiga Ekonomi Konstitusi (2009) yang ditulis oleh Soegeng Sarjadi dkk. Dan Buku keempat Konstitusi Ekonomi (2010) yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie.
Semangat tetralogi buku ini sesungguhnya sama: menyejahterakan semua warga negara. Tetapi, menegakkan ekonomi konstitusi di tengah impitan gejolak globalisasi maupun realisasi paham neolib membutuhkan keberanian (mental jihadis) dari seorang pemimpin. Artinya, kelas jenderal pesolek dan kelas petruk blusukan tak memungkinkan melahirkan harapan. Ekonomi konstitusi tentu bukan arsitektur ekopol yang memastikan pengojek, tenaga kerja wanita, pengutang, pengimpor sebagai prestasi yang dibanggakan di forum-forum internasional. Tetapi, arsitektur yang sebaliknya.
 
Terlebih, ekonomi konstitusi tidak menghendaki konsentrasi kekuatan ekonomi. Ia mengharamkan KKN, tidak menghendaki kebijakan yang mengarah pada kesejahteraan individu, dan mengharamkan oligarki. Ekonomi konstitusi dilahirkan agar ada pemanfaatan sumber-sumber ekonomi untuk kemakmuran seluruh rakyat serta kebijakan yang mengarah pada kesejahteraan sosial.
 
Oleh sebab itu, para perumus kebijakan ekonomi-politik haruslah menjadikan UUD 1945 sebagai hukum dan kebijakan yang tertinggi di semua bidang. Tidak boleh ada kebijakan apa pun, tak terkecuali ekonomi yang bertentangan dengan UUD 1945. Jika ada yang melanggar, itu batal demi hukum dan produsennya wajib diturunkan.
 
Tanpa menempatkan konstitusi dalam berekonomi, hanya satu dari sepuluh orang yang bilang ekonominya stabil: yaitu para penjilat kekuasaan. Tentu saja, ia oligark. Sembilan orang lainnya bilang ekonominya memburuk. Bahkan sangat buruk. Sebab, penderitaannya berasal dari teman yang menjajah teman sendiri.

Dimulai sejak Uni Soviet

Diskursus tentang konstitusi ekonomi sebenarnya dimulai sejak Uni Soviet memasukkan persoalan ekonomi di dalam konstitusinya pada 1918. Diikuti Republik Weimar Jerman pada 1919. Kemudian pola konstitusionalisasi kebijakan ekonomi itu diikuti oleh banyak negara lain dalam berbagai tipologi. Juga negara kita.
 
Di Indonesia, konstitusi kita telah memenuhi kaidah dasar perekononian yang solid, membela warganya. Para pendiri republik secara sadar membuat arsitektur perekonomian yang diametral dengan kolonial. Arsiteknya berontologi gotong-royong, berepistema koperasi, dan beraksiologi pemerataan. Ekonomi kita harus bersandar pada lima dasar statis dan empat dasar dinamis. Tanpa kesadaran itu semua, kita tak perlu menunggu 2030 untuk bubar atau nomor lima di dunia. Kini ekonomi kita sudah terbesar ke-8 di dunia.
 
Kini mari cari sekutu. Dalam dunia akademik, sesungguhnya ada beberapa sokongan dalam usaha melawan matra neoliberalis yang makin gigantik. Salah satunya dari Hyman P Minsky. Ekonom strukturalis yang sudah lama memperingatkan "krisis buatan para pemuja pasar" dalam rangka mengakumulasi kapitalnya. Kini kita bisa menggunakan teori hipotesis finansial tak stabul (FIH) temuannya untuk melihat volatilitas mata uang dan harga-harga barang di sekitar rezim devisa bebas dan pengiman fundamentalisme pasar syaitan:
 
The Financial Instability Hypothesis (FIH) has both empirical and theoretical aspects that challenge the classic precepts of Smith and Walras, who implied that the economy can be best understood by assuming that it is constantly an equilibrium-seeking and sustaining system. The theoretical argument of the FIH emerges from the characterization of the economy as a capitalist economy with extensive capital assets and a sophisticated financial system.
 
Siapakah Hyman? Sesungguhnya, Hyman Philip Minsky adalah profesor ekonomi di Universitas Washington, beraliran neo-Keynesian (strukturalis) yang percaya perlunya peran negara dalam ekonomi. Hyman memberikan analisis yang cukup menarik tentang penyebab krisis. Menurutnya, ekonomi kapitalisme memiliki tendensi untuk terus mengalami krisis. Akibatnya krisis menjadi suatu hal yang lumrah dan akan senantiasa berulang di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Teorinya menganggap bahwa penyebab utama krisis ialah akumulasi utang, ponzi (kebohongan), dan kesengajaan kaum kaya yang greedy saat mengakumulasi kapitalnya.
 
Sebab itu, krisis diciptakan demi keuntungan-keuntungan cepat yang bisa didapatkan saat orang lain belum menyadarinya. Proses spekulasi ini kemudian dilindungi negara. Hal ini karena negara juga dikuasai para konglomerat yang predatoris.
 
Dalam konteks Indonesia, krisis adalah jalan dan metode perampokan. Berulang diciptakan via negara demi konglomerasi begundal lokal dan elite kolonial internasional. Krisis tauhn 1965, 1974, 1998, 2008, dan kini 2016 via tax amnesty adalah perulangan valid akan perampokan dalam fase-fase telanjang di depan hidung warga negara.

Berpegang pada Pancasila

Saatnya kita mendesakkan RUU Demokrasi Ekonomi Berbasis Konstitusi. Isinya lima hal utama: 1) Model, modul, dan modal pembangunan. 2) Sistem finansial. 3) Hak-hak ekosok dalam negara. 4) Sistem penegakan hukum. 5) Sistem keberlanjutan. Inilah dasar kita agar memastikan bahwa demokrasi ekonomi-politik Pancasila sesungguhnya menjadi tujuan pembangunan Indonesia. Yaitu, membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
 
Dengan demikian, seluruh pembangunan ekonomi-politik kita pun haruslah berlandaskan Pancasila. Pemikiran, ucapan, tulisan, dan tindakan yang ingin kita bangun harus berdasar, bertujuan, dan berpedoman dalam penyelenggaraannya sebagai manifestasi ekonomi-politik Pancasila.[]
 
*Yudhie Haryono, Direktur Eksekutif Nusantara Centre
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Pertumbuhan Ekonomi Ekonomi Global Krisis Ekonomi

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif