BELUM lama ini beberapa forum orang tua mengeluhkan Roblox yang ternyata memaparkan anak pada konten seksual. Meski menurut Roblox permainan digital yang diakses oleh berbagai lapisan umur ini sudah berupaya agar aplikasinya lebih ramah terhadap anak, mereka juga mengakui bahwa ada orang-orang yang secara intens terus berusaha memecahkan kode agar dapat menerobos aturan yang sudah dibuat itu.¹
Roblox hanyalah salah satu contoh. Di dunia maya ada banyak sekali permainan yang berpotensi
membuat anak terpapar pada konten negatif seperti kekerasan fisik, psikologis, seksual, hingga
kemungkinan penyebaran radikalisme.
Mempercayakan anak kita pada gawai yang telah dipasang parental guide tidak bisa lagi menjadi
satu-satunya solusi. Terbukti, banyak anak yang masih dapat terpapar konten kekerasan di aplikasi yang mengeklaim diri mereka sebagai ramah lingkungan atau ramah anak.
Lalu, bagaimana orang tua harus melindungi anaknya berselancar di dunia maya?
Dunia maya di mana anak dan kita semua hidup adalah gambaran dari dunia nyata. Hanya saja,
karena letaknya berada tepat di genggaman, jadi tidak semua orang dapat melihat dengan mudah apa yang sedang terjadi di dalamnya.
Mari kita berandai-andai sedang bermain di taman dengan anak-anak. Cara orang tua melindungi dan memastikan anaknya dalam kondisi aman adalah dengan terus mengawasi gerak-geriknya agar tidak mendekati atau didekati bahaya.
Ketika ada orang tidak dikenal dan mencurigakan memberikan permen, orang tua bisa langsung mendekat dan melindungi anaknya, menjauhkan dari orang tersebut. Tetapi bayangkan hal tersebut terjadi di dunia maya. Bagaimana kita melindungi anak?
Pelaku kejahatan di dunia maya sering kali bersembunyi di balik identitas palsu. Mereka
mendaftarkan diri dengan mengaku berusia 13 tahun atau bahkan kurang, agar dapat berinteraksi dengan sesama usia tersebut secara leluasa.
Dengan memanfaatkan kepolosan anak, mereka mengambil keuntungan untuk melancarkan niat jahatnya. Pada orang dewasa, ketika menyadari dirinya menjadi korban, mereka bisa segera berhenti bermain dan mencari bantuan. Tetapi anak belum tentu dapat berpikir sejauh itu.
Bermacam aplikasi digital saat ini sudah menyerupai dunia nyata, dan sangat mungkin
dipersepsikan sebagai dunia nyata oleh anak-anak kita. Semakin jauh anak berada di dalamnya,
selain potensi menjadi antisosial di dunia nyata, ada banyak informasi yang dapat diakses anak di luar kontrol kita.
¹https://www.eurogamer.net/articles/2022-02-15-roblox-commits-to-ensuring-a-positive-and-safe-experience-
for-its users#:~:text=A%20new%20report%20from%20the,and%20engage%20in%20virtual%20sex.
Banyak orang tua yang mengeluhkan anak mereka sudah menunjukkan gejala kecanduan
terhadap gawai. Marah, gelisah dan agresif ketika dilarang atau dibatasi bermain dengan gawai
adalah ciri-ciri anak yang sudah mengalami kecanduan.
WHO telah memasukkan kecanduan terhadap gawai sebagai salah satu gangguan psikologis. Apakah kita akan membiarkan anak-anak kita mengalami gangguan psikologis ini?
Di awal masa pandemi di tahun 2020, Wahana Visi Indonesia telah melakukan pelatihan daring
Aku Netizen Unggul pada anak-anak yang menjadi dampingan di seluruh Indonesia. Tujuan
pelatihan ini adalah untuk menguatkan anak-anak agar tidak terpapar konten negatif, mengerti
bagaimana harus menyikapi jika mendapati konten negatif, dan agar tidak menjadi pelaku
perundungan di dunia digital.
Dari peserta pelatihan ini kami mendengar bahwa upaya-upaya untuk memangsa anak di dunia
maya sudah menyebar sampai ke pelosok desa sekalipun. Di mana ada sinyal yang memungkinkan anak terpapar internet, di situ bahaya kekerasan di dunia digital mengintai anak-anak kita.
Data yang disajikan oleh ECPAT pada 2020 menyatakan bahwa 23 persen dari 1203 anak yang
mengikuti survey mereka pernah mendapatkan pengalaman buruk berinternet seperti dikirimi
pesan tidak sopan, konten yang membuat tidak nyaman dan mendapatkan konten mengandung
unsur pornografi.
Sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab pada anak, kita memiliki pilihan, yaitu membiarkan atau mencegah kekerasan terjadi pada anak kita terjadi. Sementara yang bisa kita lakukan adalah belajar sebanyak mungkin tentang bagaimana mengasuh anak di era digital atau digital parenting², mengidentifikasi potensi bahaya terhadap anak kita, dan membangun komunikasi yang baik dengan orang yang menjaga anak ketika kita sedang tidak bersama mereka.
Selama masih harus hidup dengan mengandalkan sambungan internet, maka sepanjang itu pula
kita harus terus mengejar perkembangan teknologi dan informasi yang dibawanya. Mematikan
internet demi menyelamatkan anak kita adalah mustahil. Membekali anak dengan kemampuan
untuk mengidentifikasi potensi negatif dan melindungi diri mereka sendiri adalah cara yang harus kita lakukan sekarang.
Tantangan terbesar kita sebagai orang tua adalah terus bersedia belajar, menyamakan ilmu
dengan anak, dan memastikan kita sendiri tidak tenggelam di dunia maya. Membina hubungan dan komunikasi yang penuh kelekatan dengan anak-anak di dunia nyata, tidak bisa digantikan dengan komunikasi digital apapun.
Gawai dan segala teknologi canggih ini adalah alat kita. Sama seperti pisau, kita yang memilih menggunakannya untuk memasak atau melakukan kejahatan dengannya.
Pilihannya ada di kita, apakah akan memegang kendali terhadap gawai atau membiarkan mereka
menjadi pengendali kita.
²https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/bd09d-modul-ii-parenting-di-era-digital.pdf
Nelly Siswaty Sembiring
Child Protection Specialist Wahana Visi Indonesia

