Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi/MI/Ebet
Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi/MI/Ebet (Gaudensius Suhardi)

Gaudensius Suhardi

Anggota Dewan Redaksi Media Group

Peningkatan Harta secara tidak Wajar

Gaudensius Suhardi • 16 September 2021 05:58
Jakarta: Regulasi telah memberikan celah kepada penyelenggara negara untuk tidak jujur melaporkan hartanya. Laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) di negeri ini hanyalah ritual formalitas. Dilaporkan tidak menggenapkan, tidak melaporkan tiada mengganjilkan.
 
Banyak penyelenggara negara tidak patuh melaporkan harta mereka. Sekalipun dilaporkan, isinya fiktif. Ada pula kasus penambahan harta di luar akal waras. Semua itu nyata terjadi, tapi hukum tidak mampu menjangkau. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun hanya bisa mengeluh dan mengeluh selama 17 tahun terakhir.
 
KPK merilis tingkat akurasi pengisian LHKPN tergolong rendah. Dari 1.665 LHKPN penyelenggara negara yang diperiksa sejak 2018 sampai dengan 2020, ditemukan 95% LHKPN tidak akurat. Lebih mengejutkan lagi, menurut KPK, kekayaan pejabat mengalami kenaikan pada masa pandemi. Jumlahnya mencapai 70,3%.
 
Baca:Pejabat Diingatkan Tak Meremehkan Pengisian LHKPN Tidak ada larangan pejabat menjadi kaya. Paling penting ialah kekayaan itu diperoleh secara wajar. Kajian Indonesia Corruption Watch 2014 menyebut banyak pejabat yang memiliki kekayaan di luar logika pendapatan sahnya. Harta melebihi gaji bulanan dan pendapatan lain dari negara.
 
Pejabat Orde Baru banyak memiliki kekayaan secara tidak wajar. Karena itulah, memasuki era reformasi, dikeluarkan Ketetapan MPR XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
 
Pasal 3 ayat (1) Tap MPR itu menyebutkan, untuk menghindarkan praktik-praktik KKN, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
 
Menurut ketentuan ayat (2), pemeriksaan atas kekayaan itu dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh kepala negara yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyarakat.
 
Perintah MPR itu dilaksanakan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 5 UU 28/1999 itu menyatakan setiap penyelenggara negara berkewajiban, ayat (2) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; ayat (3) melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.

Sama seperti yang diperintahkan MPR, Pasal 10 UU 28/1999 menyatakan untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN, presiden selaku kepala negara membentuk komisi pemeriksa. Pasal 13 menyebutkan keanggotaan komisi pemeriksa terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat.
 
Komisi pemeriksa pada mulanya dibentuk dengan Keppres 127/1999, namanya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Namun, setelah diberlakukannya UU 30/2002 tentang KPK, maka KPKPN dibubarkan dan menjadi bagian dari bidang pencegahan KPK. Resmi dibubarkan pada 29 Juni 2004. Dengan demikian, kelembagaan terkait LHKPN sudah tidak sesuai lagi dengan perintah MPR.
 
Kewenangan KPK terkait LHKPN diatur dalam Pasal 13 huruf a, yaitu melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
 
Muncul pertanyaan yang kemudian bisa menjadi celah hukum. Apakah KPK berwenang untuk melakukan langkah-langkah pemantauan, klarifikasi, dan pengawasan, sementara dalam undang-undang KPK hanya berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN?
 
Kelemahan utama terkait LHKPN ialah tidak ada sanksi yang menimbulkan efek jera. Sebab, penyelenggara negara yang tidak memenuhi kewajiban LHKPN, berdasarkan Pasal 20 UU 28/1999, hanya dikenai sanksi administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Bagaimana dengan anggota DPR dan DPRD yang tidak mempunyai atasan, siapa yang memberikan sanksi kepada mereka?
 
Indonesia membutuhkan UU Peningkatan Kekayaan secara tidak Sah (Illicit Enrichment) sebagai tindak lanjut kewajiban LHKPN. Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, sanksi pidana terkait dengan LHKPN semestinya diatur dalam UU Peningkatan Kekayaan secara tidak Sah.
 
ICW sudah mengkaji perlunya pembentukan UU Peningkatan Kekayaan secara tidak Sah sejak tujuh tahun lalu. Hanya, butuh kemauan politik untuk membentuknya karena sudah diamanatkan Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) pada 2003. Alinea ke-7 pembukaan konvensi menyatakan ‘Meyakini bahwa perolehan kekayaan perseorangan secara tidak sah dapat merusak khususnya lembaga-lembaga demokrasi, perekonomian nasional, dan negara hukum’.
 
Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut melalui UU 7/2006 tentang Pengesahan UNCAC. Eloknya, UU 28/1999 segera direvisi dengan memasukkan ketentuan pidana terkait LHKPN yang hartanya diperoleh secara tidak wajar. Apa mungkin pembuat undang-undang mau memasukkan ketentuan peningkatan kekayaan secara tidak sah yang berpotensi akan menjerat diri mereka sendiri? Perlu ada tekanan publik!
 
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar KPK pencegahan korupsi Pemberantasan Korupsi Podium

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif