Belakangan, kepasrahan itu jadi palagan narasi yang membendung pikiran kritis, keluasan dan keluwesan berpikir manusia. Seakan menyerahkan seluruhnya kepada kekuatan Tuhan, alias kun fa ya kun.
Dalam konteks kebakaran di Kejaksaan Agung (Kejagung) Sabtu (22/8), hal itu dianggap karena sudah seharusnya terbakar, maka terbakarlah. Tentu dengan segala prediksi teknis, korsleting listrik atau percikan api yang membuat Jaksa Agung ST Burhanuddin harus mencari ruangan baru untuk bekerja.
Kalau itu rumah saya yang terbakar, bisa saja saya pasrah dengan jalan keluar kembali bekerja keras mendapatkan uang agar rumah bisa kembali berdiri. Namun, saya kemudian tidak harus sekaligus tidak sanggup membatasi pikiran orang lain yang melihat rumah saya terbakar. Satu, ada yang berpikir musibah, kedua bisa jadi berpikir dibakar karena saya banyak musuhnya atau ketiga seperti rumah saya dibakar yang dibuat seolah kebakaran. Poin satu tidak salah, benar itu musibah dan mereka tak ambil pusing untuk tahu detail lebih dalam. Poin selanjutnya adalah bagi mereka yang tertarik lebih dalam kenapa rumah saya terbakar. Soal kebakaran di Kejaksaan Agung, negara memiliki otoritas untuk melakukan pengotakan atau klaster informasi, mitigasi isu dan lainnya. Negara memiliki kapasitas dan akses untuk itu.
Persoalannya, apakah informasi pihak berwenang bisa dipercaya? Bisa iya, bisa tidak. Dalam teori post-truth saat ini, kebenaran adalah satu hal, dan narasi yang berkembang menjadi pergunjingan adalah hal yang lain.
Maka, menjadi naif rasanya bagi saya, jika mengikuti narasi, kebakaran malam minggu di Kejaksaan Agung hanya berupa masalah teknis kebakaran belaka.
Dengan keterbatasan informasi yang ada, individu, publik, rakyat atau masyarakat adalah entitas bebas dengan pemikiran tak terbatas. Hal ini kontradiktif dengan posisi negara yang mampu mengakses dan melakukan desiminasi atas informasi.
Negara penuh konspirasi
Jangan salahkan rakyat jika menganggap yang terkait berita besar di negara ini penuh konspirasi. Selama ada ruang berdebat, negara seharusnya berterima kasih atas pemikiran-pemikiran yang muncul dari akar rumput, termasuk soal kebakaran di Kejaksaan Agung. Itu jadi ciri demokrasi, bukan sedikit-sedikit (lapor) polisi.
Masalahnya, tinggal bagaimana negara bersikap, jika muncul narasi yang lain di masyarakat. Jika ada narasi lain di masyarakat, hal itu harus dilawan lewat narasi, bukan ancaman bui. Kuda Troya publik, saat ini relatif hanya media sosial. Jadi, sebaiknya jangan kemudian negara atau pihak-pihak lain menghancurkan satu-satunya alat pencurah pikiran rakyat.
Sebagai perbandingan, dokumen rahasia di Amerika Serikat baru bisa diakses publik setelah 25 tahun kejadian itu. Pertimbangannya, setelah 25 tahun, sudah hilang satu generasi yang sakit hati jika informasi itu dibuka ke publik. Setelah itu, publik pun bisa menyadurnya menjadi budaya populer lewat buku, film atau lainnya.
Dalam kasus Kebakaran Kejaksaan Agung, pasti tidak semua informasi dibuka kepada publik dengan banyak alasan, khususnya keamanan dan stabilitas negara. Namun hal itu bukan berarti negara berhak membatasi pemikiran publik. Apalagi belakangan Kejaksaan Agung sempat menjadi ‘pahlawan super’ baru bagi rakyat, harapan dengan segala macam drama di dalamnya, menyalip kepopuleran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang redup dua tahun belakangan.
Teori peran menjadi satu dari banyak pisau dalam mengiris masalah untuk melihat lebih dalam. Pakar sosiologi Paul B. Horton dan Chester L. Hunt menganggap, teori peran memungkinkan setiap individu tidak memandang sebuah peran dengan cara yang sama seperti orang lain. Ada rasionalisasi atas situasi, pengkotakan, ajudiksi dan kedirian (pembatasan diri) pada publik dalam melihat sebuah kejadian, dalam hal ini kebakaran Jaksa Agung.
Maka, menjadi naif rasanya bagi saya, jika mengikuti narasi, kebakaran malam minggu di Kejaksaan Agung hanya berupa masalah teknis kebakaran belaka.
Mantan Jaksa AgungAntasari Azhar bahkan meminta masyarakat agar tidak melebarkan isu yang macam-macam terkait kebakaran dengan kasus besar yang tengah diselesaikan Kejaksaan Agung. Pernyataan Antasari tidak salah, namun menjadi salah saat hal itu diungkapkan untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Dengan demikian, terlihat bahwa kejahatan yang didakwakan kepada Benny melibatkan orang dalam Jiwasraya, termasuk (bisa jadi) pejabat-pejabat di lembaga keuangan. Sebab, banyak saksi yang berstatus petinggi perusahaan atau lembaga dipanggil secara maraton ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sebab, ada sejumlah kasus besar yang saat ini tengah ditangani Kejaksaan Agung. Sebut kasus Cessie Bank Bali yang layaknya drama Korea paling populer saat ini, melibatkan terdakwa Djoko S. Tjandra sebagai pemeran utama yang merugikan negara Rp940 miliar.
Sang tokoh utama dibantu jaksa Pinangki dan melibatkan bintang-bintang di Kepolisian republik ini yang sudah dicopot jabatannya. Skenario kabur keluar-masuk Indonesia tanpa pemeriksaan imigrasi, sudah pasti bukan orang biasa yang melakukannya. Dalam hal ini, publik yang ingin mencari informasi lebih dalam, tentu memiliki jejaring tersendiri untuk mencoba memahami apa yang terjadi.
Kasus Jiwasraya
Kasus besar lain yang ada di markas Adhyaksa adalah peristiwa gagal bayar PT Jiwasraya, yang membuat perusahaan asuransi tertua ini mencatatkan kerugian delapan kali lipat skandal Bank Century. Perusahaan pelat merah ini mencatatkan sejarah kerugian perusahaan asuransi dengan nilai mencapai Rp52 triliun. Korbannya adalah 5,5 juta nasabah terdaftar, dengan 13 perusahaan manajemen investasi yang telah menjadi tersangka dan enam di antaranya tengah menjadi terdakwa.
Setali tiga uang dengan kasus Djoko Tjandra, kasus gagal bayar Jiwasraya berpusat pada Benny Tjokro, taipan kakap pasar modal dan properti yang malang melintang berkarier moncer seperti seorang Jordan Belfort yang diperankan Leonardo Di Caprio dalam film biografi kriminal Wolf of Wallstreet. Dalam film itu, kriminal kerah putih nyaris mustahil dilakukan oleh hanya satu orang saja dan pasti melibatkan banyak pihak. Itu pula yang terjadi pada Benny yang kini didakwa bersama lima orang lainnya.
Namun apakah akan muncul narasi lain setelah semua proses ini sampai di ujung jalan? Pasti, karena drama kasus hukum lebih seru ketimbang putusan hukum itu sendiri.
Benny selaku Direktur Utama PT Hanson International Tbk, bersama Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, dan Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto, dalam fakta persidangan terlibat langsung dengan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2008 - 2018 Hendrisman Rahim. Ada juga sosok lain yang terlibat, yaitu Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2008 – 2018, Hary Prasetyo dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya, Syahmirwan.
Dengan demikian, terlihat bahwa kejahatan yang didakwakan kepada Benny melibatkan orang dalam Jiwasraya, termasuk (bisa jadi) pejabat-pejabat di lembaga keuangan. Sebab, banyak saksi yang berstatus petinggi perusahaan atau lembaga dipanggil secara maraton ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menagih pernyataan Mahfud MD
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD, sepertinya terlalu dini mengatakan bahwa berkas-berkas perkara aman, meskipun itu juga harapan saya bahwa berkas benar-benar aman dan tidak ikut terbakar. Namun, melihat masifnya api membakar gedung, sulit juga untuk percaya 100 persen atas pernyataan Mahfud. Meskipun demikian, setidaknya itu pernyataan yang bisa publik tagih di kemudian hari jika kasus-kasus di Kejaksaan Agung mangkrak.
Mahfud pun sepertinya mencurigai kebakaran itu bukan hanya kebakaran biasa, namun sebagai pejabat negara, terlebih dengan posisi yang sangat penting sebagai Menko, ia tak bisa serta merta membeberkan semuanya. Pihak Kejaksaan Agung saya pikir punya mekanisme tersendiri menanggapi kebararan gedung utama mereka. Enggan menyebutnya sabotase, selama belum mempunya bukti yang valid.
Di luar lingkar lembaga negara, biarlah ini menjadi diskursus publik. Publik berhak untuk berpikir kritis, berdiskusi dan punya bahan obrolan kedai kopi. Selama bersifat narasi, prediksi dan kemugkinan, biarlah rakyat menebak-nebak.
Itulah yang terjadi saat akses informasi terbatas sedangkan pikiran manusia tak terbatas. Penanganan dan proses hukumlah yang akan membuat tebakan publik berhenti, saat hakim mengetuk palu, saat polisi mampu membongkar penyebab kebakaran.
Namun apakah akan muncul narasi lain setelah semua proses ini sampai di ujung jalan? Pasti, karena drama kasus hukum lebih seru ketimbang putusan hukum itu sendiri.
Saya jadi teringat sebuah film, The American yang diangkat dari kisah nyata saat Perang Dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet, soal keluarga yang menjadi intelijen dan saling menyusup ke dua negara tersebut. Sampai akhirnya mereka tak sengaja bertemu. “Kalian harus ingat, pekerjaan ini adalah soal membuat semuanya menjadi samar, abu-abu, tidak pasti.” Demikian salah satu kutipan dari film tersebut.
Intinya, pengaburan fakta juga sejarah hanya bisa dilakukan oleh negara, yang membuat rakyat merasa tahu banyak padahal tidak. Negara pula yang memiliki hak membuka atau menutup, memberi atau meraup.
Apapun akhir sinetron kasus-kasus besar ini nantinya, Kejaksaan Agung pasti direpotkan dengan banyak kasus lain. Lewat peran vital lembaga pimpinan Burhanuddin ini, sangat sulit berpikir lurus-lurus saja juga polos soal kebakaran Sabtu malam itu.
Sulit juga untuk tidak berpikir bahwa ini merupakan bentuk perlawanan para koruptor terhadap negara. Saat meja hijau terlalu bertele-tele, koruptor melakukan serangan layaknya preman. Apapun masalahnya, negara sebagai institusi besar, tidak boleh kalah melawan penjahat.[]
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.