Hasbi yang juga berprofesi sebagai hakim tersebut ditahan terhitung 12 Juli 2023 karena diduga menerima suap Rp3 miliar untuk pengurusan perkara pidana di MA. Selain menahan Hasbi, KPK menyita sejumlah kendaraan mewah, seperti Ferrari dan McLaren milik hakim pada peradilan agama tersebut. Kasus yang menyeret Hasbi ini merupakan pengembangan dari perkara suap di MA yang sebelumnya menjerat hakim agung nonaktif Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.
Penahanan Hasbi, di samping Sudrajat dan Gazalba, semakin menunjukkan mendesaknya reformasi di tubuh MA. Baik dalam hal rekrutmen maupun pengawasan perilaku hakim agung dan ASN di lembaga tersebut. Apalagi, khusus untuk Hasbi, kasus korupsi yang kedua kalinya menimpa Sekretaris MA dalam kurun waktu 3 tahun belakangan. Sebelumnya KPK juga mencokok mantan Sekretaris MA Nurhadi untuk kasus sejenis pada pertengahan 2020.
Selama ini kinerja MA sudah sering mendapat banyak sorotan dan sinisme dari masyarakat. MA belakangan sering dikritik karena memvonis pidana ringan para pelaku korupsi yang berulang. Sebut saja korting hukuman terhadap mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun pada tingkat kasasi. Pun Djoko Tjandra yang diganjar MA hukuman pidana 3,5 tahun dari sebelumnya 4,5 tahun. Data tren vonis Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2021 mencatat setidaknya ada 15 terpidana korupsi yang dikurangi hukumannya melalui upaya hukum luar biasa tersebut.
Sejumlah aktivis masyarakat antikorupsi sebenarnya berulang kali mendesak agar institusi MA segera melakukan evaluasi secara menyeluruh untuk mengatasi problem mafia peradilan ini. Langkah pertama ialah memastikan integritas hakim, baik di MA maupun lembaga peradilan di bawahnya.
Baca Juga:KPK Dalami Keterkaitan Ferrari dan McLaren di Garasi Hasbi Hasan dengan Kasus Suap |
Selain itu, MA bersama-sama dengan KPK dan Komisi Yudisial (KY) diminta berkoordinasi melakukan pemetaan untuk melihat potensi korupsi di lembaga pengadilan sehingga bisa dijadikan rujukan ketika membuat kebijakan terkait pengawasan. Kalangan masyarakat sipil juga meminta ada pengembangan perkara dan menindak seluruh pihak yang diduga terlibat di dalam perkaranya agar pemberantasan mafia peradilan bisa optimal.
Bahkan perlu adanya sanksi berat kepada hakim agung yang menerima suap saat mengurangi hukuman koruptor. Sebab, praktik culas ini sudah sangat mencederai MA dan upaya pemberantasan korupsi.
Sayangnya, keinginan publik untuk mengawasi ketat lembaga MA agar bisa mengurangi praktik mafia peradilan ini seringkali seperti dianggap angin lalu. Para hakim agung dan juga ASN di lingkungan MA sepertinya tidak terlalu peduli dengan kritikan yang menimpa mereka.
Mungkin ketidakpedulian ini tidak terlepas dari mental sebagai para aparat yang bekerja di MA, baik hakim agung maupun ASN, seringkali mengklaim sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Hal ini terutama saat mengambil keputusan, para hakim agung mengatasnamakan Tuhan dan putusan bersifat final serta mengikat. Walaupun faktanya, para aparat negara ini digaji dari uang rakyat yang tentunya butuh pengawasan yang ketat terhadap kinerja mereka.
Publik tentu tidak ingin kebobrokan di lembaga pengadil tertinggi ini terus berulang. Dibutuhkan langkah revolusioner dari seluruh pemangku kepentingan untuk mengakhiri berbagai praktik korup di benteng keadilan terakhir ini.
Jika tidak ada tindakan luar biasa dalam membenahi institusi ini, hampir dipastikan publik tinggal menunggu dicokoknya sosok-sosok korup lain di lingkungan MA seperti yang menimpa Nurhadi, Sudrajat, Gazalba, dan Hasbi. Jangan sampai benteng keadilan menjadi benteng mafia peradilan. Capek deh.