Ilustrasi. Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Ilustrasi. Foto: Antara/Puspa Perwitasari (Didik Eko Pujianto)

Didik Eko Pujianto

Wakil Duta Besar Indonesia untuk Singapura

Bingung tentang Meterai Baru

Didik Eko Pujianto • 09 Maret 2021 14:53
?MULAI 1 Januari 2021 UU No 10/2020 tentang Bea Meterai diberlakukan. Dengan UU itu meterai dengan nominal Rp10.000 resmi digunakan. Di samping meterai baru yang belum tersebar luas, masih banyak meterai lama di pasaran yang nilai nominalnya tidak sama dengan peraturan baru. Sehingga, wajar jika masih ada yang bingung mengenai hal tersebut.
 
Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), meterai tempel baru Rp10.000 sudah tersedia di Kantor Pos seluruh Indonesia. Namun, UU memberikan tenggat waktu pemanfaatan meterai lama hingga akhir 2021.
 
Penggunaan meterai tempel lama paling sedikit Rp9.000 dan dapat dilakukan dengan tiga acara. Pertama, menempelkan berdampingan satu lembar meterai Rp3.000 dan Rp6.000. Kedua, menempelkan berdampingan dua lembar meterai Rp6.000. Dan ketiga, menempelkan berdampingan tiga lembar meterai Rp3.000.
 
Saat ini diperkirakan terdapat sekitar tiga juta orang WNI yang tinggal di berbagai negara di seluruh dunia. Semakin banyak jumlah dan ragam urusan perdata antarindividu, antarlembaga, atau antaraindividu dan lembaga, semakin banyak meterai yang diperlukan. Di samping itu, beragam dokumen yang terkait dengan perdagangan, investasi atau kegiatan usaha lainnya oleh WNA dari berbagai negara yang akan digunakan di Indonesia memerlukan meterai. Padahal, di luar negeri tidak ada penyedia meterai seperti di Indonesia. Sementara itu, pada umumnya orang secara psikologis lebih puas jika dokumen perdatanya dibubuhi meterai dan langsung ditandatangani karena merasa lebih memiliki kekuatan hukum.
 
Pertanyaan seputar meterai yang selama ini paling sering muncul dan dialamatkan kepada perwakilan Indonesia di luar negeri, antara lain: ketentuan, fungsi, tata cara penggunaan, kekuatan hukum, denda, dan sebagainya. Pasal 1 (1) menyebutkan bahwa: Bea Meterai adalah pajak atas dokumen.
 
Jelas, meterai bukan syarat “sah”-nya sebuah dokumen. Meterai diwajibkan untuk dua kelompok dokumen, yaitu: (a) dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata; dan (b) dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
 
Masih sering juga ditemui keraguan tentang ruang lingkup kejadian perdata maupun jenis dokumen perdata yang memerlukan meterai. UU menegaskan bahwa kejadian perdata adalah kejadian yang masuk dalam ruang lingkup hukum perdata mengenai orang, barang, perikatan, pembuktian, dan kedaluwarsa.
 
Sedangkan dokumen perdata meliputi, pertama surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya. Kedua, akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya. Ketiga, akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya. Keempat, surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Kelima, dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
 
Lalu, keenam, dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang. Ketujuh, dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang: (a) menyebutkan penerimaan uang; atau (b) berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.
 
Mengingat bea meterai adalah pajak, maka ada pihak atau subjek yang diwajibkan untuk membayar. UU menyebutnya sebagai pihak yang terutang. Secara umum, ada tiga subjek yang wajib membayar, yaitu: (1) pihak yang menerima dokumen, untuk dokumen yang dibuat secara sepihak; (2) masing-masing pihak, untuk dokumen yang dibuat oleh dua pihak atau lebih; dan (3) pihak yang mengajukan dokumen, untuk dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
 
Waktu pembayaran bea meterai dikelompokkan menjadi lima, yaitu ketika: (1) dokumen dibubuhi tanda tangan; (2) dokumen selesai dibuat; (3) dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen tersebut dibuat; (4) dokumen diajukan ke pengadilan, untuk dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan; dan (5) dokumen digunakan di Indonesia, untuk dokumen yang dibuat di luar negeri.

Tak perlu bingung

Untuk dokumen yang dibuat di luar negeri dan akan digunakan di Indonesia, dapat dibubuhi meterai kemudian oleh penerima manfaat di dalam negeri. Sehingga, sebenarnya tidak perlu tergesa dan bingung mencari meterai di luar negeri. Proses ini disebut sebagai “Pemeteraian Kemudian”.
 
Namun, selama ini umumnya masyarakat berupaya mendapatkan meterai dengan cara apa pun dan berapa pun karena ada rasa khawatir dokumennya tidak sah jika tanpa meterai. Sehingga, meterai di luar negeri bukan hanya sebagai pajak atas dokumen, tetapi menjadi komoditas yang diperdagangkan dengan harga yang bisa berkali-kali lipat dari bea yang seharusnya.
 
Dari aspek harga, mungkin sebuah meterai bisa dianggap tidak terlalu signifikan. Namun, praktik memperdagangkan pajak bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda oleh pihak lain. Dalam konteks Omnibus Law yang dimaksudkan untuk memperlancar investasi dan membuka kesempatan kerja, mungkin saja ada pelaku usaha/investor/masyarakat yang menilai bahwa untuk pajak yang kecil seperti meterai saja, masih ditemui praktik menaikkan harga yang sulit dikontrol.
 
Padahal, yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian hanya sebesar bea meterai yang terutang ditambah dengan sanksi administratif sebesar 100%. Sambil menunggu peraturan teknis Pemeteraian Kemudian yang perlu pengesahan dari pejabat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, paling tidak kita memahami bahwa dokumen yang dibuat di luar negeri memiliki alternatif pembubuhan meterainya dilakukan di dalam negeri, tidak harus membeli/membayar bea jauh di atas yang semestinya.
 
Pada prinsipnya, pihak yang wajib membayar bea meterai melalui Pemeteraian Kemudian adalah pihak yang terutang. Namun dalam pelaksanaannya, pembayaran bea meterai melalui Pemeteraian Kemudian dapat dilakukan oleh pemegang dokumen baik sebagai pihak yang terutang maupun bukan pihak yang terutang.
 
Dengan demikian, misalkan seorang WNI di luar negeri membuat surat kuasa kepada seseorang di dalam negeri, maka bea meterai dapat dibayarkan oleh penerima kuasa sebagai pemegang dokumen dan penerima manfaat. Meterai yang digunakan juga harus ditandatangani.
 
Tanda Tangan berupa: lambang nama sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang ITE.
 
Tanda tangan pembuat atau para pihak harus dibubuhkan di atas atau mengenai sebagian dari meterai. Jika meterai tidak tertimpa oleh tanda tangan, maka dianggap belum melakukan pelunasan bea meterai dan harus diulang.
 
Terakhir, siapa pun yang menyalahgunakan meterai diancam dengan sanksi administrasi dan pidana. Bagi orang yang menghilangkan tanda tangan di atas meterai yang telah dipakai diancam dengan pidana paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
 
*Didik Eko Pujianto adalah Wakil Duta Besar Indonesia untuk Singapura
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar wni kbri singapura Bea Meterai

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif