Tjipta Lesmana (MI/Susanto0
Tjipta Lesmana (MI/Susanto0 ()

Polri Vs Kontras, Mafia Narkoba Tertawa

09 Agustus 2016 15:02
Tjipta Lesmana
Mantan Dosen Sespim dan Sespati Polri, pengarang buku Pencemaran Nama Baik, Antara Indonesia dan Amerika (2005)
 

MASYARAKAT kita, kalau mau jujur, sebenarnya sudah lama mempunyai persepsi bahwa tidak sedikit oknum penegak hukum yang terlibat atau ikut 'bermain' dalam perdagangan dan peredaran narkoba. Indikasinya ialah makin gencar Polri dan/atau petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menggerebek jaringan narkoba, bisnis narkoba justru semakin marak, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Aparat terkesan kewalahan meski sudah ada 'algojonya', Komisaris Jenderal Budi Waseso sebagai Kepala BNN. Penjara, sebagian besar, sudah berubah status jadi 'pasar narkoba'. Akses narkoba begitu mudah di sana, melibatkan para petugas penjara. Aneh, kan?
 
Logika mengatakan, makin tegas dan makin berhasil aparat menggulung jaringan narkoba di dalam negeri, makin takut para penjahat menjalankan 'bisnis edan' ini. Yang terjadi malah kebalikannya, para penjahat narkoba makin nekat mencekoki rakyat Indonesia dengan beragam jenis narkoba, dengan jaringan dan teknik pemasaran yang semakin canggih.
 
Kesimpulan sementara, makin gencar kejahatan narkoba diberantas, justru makin menggelembung kejahatan ini. Sama halnya dengan kebakaran hutan di negara kita, makin kuat semprotan air digelontorkan, kebakaran hutan justru semakin luas dan besar. Kok bisa? Ada faktor eksternal 'beyond human capacity'. Faktor luar itu, terutama, faktor alam berupa angin yang semakin kencang. Dalam kasus narkoba, faktor luarnya apa? Kalau dikatakan, 'angin', 'angin' dalam wujud apa? 'Angin' yang dimaksud, menurut persepsi publik, tidak lain oknum-oknum aparat, baik di kepolisian maupun BNN. Bukankah selama ini aparat penegak hukum cukup sering menangkap oknum polisi dan oknum TNI yang terlibat bisnis narkoba?
 
Sering diumumkan, aparat berhasil menggagalkan penyelundupan sekian puluh kilogram narkoba dan menyita hasil tangkapannya. Akan tetapi, masyarakat kerap bertanya-tanya di mana dan 'diapakan' hasil sitaan dalam jumlah besar itu? Semua itu pertanda tudingan oknum penegak hukum 'bermain' dalam perdagangan narkoba cukup berdasar. Komjen Budi Waseso pun pernah mengakui instansinya kesulitan menggulung perdagangan narkoba karena ada oknum TNI, Polri, dan BNN yang diduga ikut bermain. Pernyataan Kepala BNN itu, tentu, memperkuat persepsi masyarakat bahwa sulitnya pemberantasan narkoba di Indonesia, antara lain, disebabkan dugaan keterlibatan para oknum petinggi Polri, LP, dan BNN. Tentu saja, para petugas instansi penegak hukum akan serta-merta mengenyahkan makhluk yang bernama 'persepsi'. Mereka akan berkata tegas, "Polisi tidak bekerja berdasarkan persepsi, tetapi fakta hukum." Maka, jika Koordinator Kontras Haris Azhar membocorkan pengakuan Freddy Budiman bahwa dirinya selama ini menyetor Polri sejumlah Rp450 miliar dan BNN Rp90 miliar terkait dengan bisnis narkobanya, polisi serta-merta minta Haris ajukan fakta hukumnya.
 
Kalau Haris gagal mengajukan bukti-bukti hukum itu, Polri kontan menuduh Haris telah melakukan pencemaran baik terhadap Polri. Pasal-pasal penghinaan dalam KUHP pun diancamkan kepada Haris. Sikap yang sama juga ditunjukkan TNI. Haris diancam dilaporkan kepada Polri dengan tuduhan telah mencemarkan nama baik TNI.
 
Sikap Polri dan TNI itu, menurut pandangan saya, mencerminkan sikap kekanak-kanakan dan terlalu reaktif. Masyarakat, saya yakin, gembira membaca reaksi spontan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap sikap Polri dan TNI yang akan melaporkan Haris Azhar. Kedua pemimpin nasional kita sama-sama mengkritik (keras) sikap Polri dan TNI yang dikatakannya 'kontraproduktif'. Kontraproduktif dalam arti tidak akan menyelesaikan masalah narkoba di negeri kita yang kian hari kian 'gila' magnitude-nya.
 
Pernyataan Presiden dan Wakil Presiden sesungguhnya mencerminkan kekecewaan dan kemarahan mereka melihat ketidakberdayaan Polri dan BNN memberantas perdagangan narkoba. Jika Polri dan BNN mau jujur mengakui ketidakberdayaan itu, mestinya pimpinannya wawas diri dan melakukan refleksi sedalam-dalamnya: kenapa fenomena narkoba semakin gila di RI? Apakah mereka tidak menyadari bahwa narkotika merupakan kejahatan terorganisasi dan transnasional yang lebih gawat efeknya daripada kejahatan terorisme sekalipun? Apakah pimpinan Polri dan BNN sudah benar-benar bisa menjamin bahwa anak-buahnya tidak ada yang bermain dalam 'bisnis iblis' ini?
 
Pengakuan Freddy Budiman yang kemudian dibuka Haris Azhar bisa saja bohong, berlebihan, bahkan sekadar fabrikasi. Dari perspektif komunikasi, apa yang disebarluaskan Haris melalui medsosnya mengandung banyak pertanyaan dan menjadi fenomena komunikasi yang kompleks. Pertama, apakah pengakuan Freddy betul-betul faktual? Kedua, kalaupun Freddy memang pernah mengatakan demikian, bagaimana tingkat penerimaan (reception) Haris Azhar? Jangan lupa, dalam setiap proses komunikasi selalu saja ada noises, hambatan-hambatan. Hambatan komunikasi bisa dalam wujud lingkungan, fisik, psikis, budaya, dan sebagainya.
 
Ketiga, percakapan antara Freddy dan Haris terjadi beberapa tahun yang lalu. Apakah percakapan itu direkam? Kalau memang direkam, mudah bagi aparat penegak hukum untuk mengungkap kebenarannya, kalau polisi mau. Akan tetapi, kalau tidak direkam, sejauh mana kemampuan otak Haris mengingat persis setiap kata yang dilontarkan dari mulut Freddy?
 
Keempat, mengapa Haris baru sekarang membuka percakapannya dengan Freddy tatkala Freddy sudah dieksekusi mati? Apa motivasinya? Jangan lupa, salah satu prinsip akbar komunikasi berbunyi, Communication is always intentional. Sesungguhnya, manusia berkomunikasi selalu karena ada maksud atau tujuan tertentu. Apakah 'pembocoran' percakapannya dengan Freddy karena untuk melampiaskan dendam Haris kepada Polri dan/atau TNI? Setiap aparat penegak hukum seyogianya mengetahui bahwa suatu tindakan dikatakan menghina atau mencemarkan nama pihak lain jika di balik tindakan itu memang terkandung unsur actual malice, niat jahat. Jika actual malice tidak bisa dibuktikan, tuduhan fitnah harus digugurkan.
 
Sekali lagi, dari perspektif komunikasi, konfrontasi Koordinator Kontras versus Polri sangat menarik untuk diteliti para ilmuwan komunikasi. Masalahnya, konfrontasi itu sekarang sudah hampir memasuki ranah hukum. Haris seperti terancam meski dirinya baru berstatus 'terlapor', belum 'tersangka'. Karena sudah memasuki ranah hukum, saran kami sebagai berikut.
 
Pertama, Polri, BNN, TNI, dan Kementerian Hukum dan HAM membentuk tim gabungan untuk menyelidiki kebenaran pengakuan Freddy Budiman sebagaimana dinyatakan Haris Azhar. Dalam tim gabungan itu juga didudukkan Haris Azhar dan sejumlah tokoh masyarakat. Kenapa harus ada tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat? Karena persepsi kuat di masyarakat luas bahwa makin gilanya bisnis narkotika di RI, antara lain, disebabkan dugaan kuat keterlibatan oknum-oknum Polri dan BNN (mungkin juga TNI). Bukankah Panglima TNI sudah mengakui instansinya sedang mengejar seorang sersan Bais yang diduga kuat terlibat dalam perdagangan narkoba?.
 
Kedua, Kapolri Tito Karnavian tidak cukup hanya mengeluarkan pernyataan akan menindak tegas anak buahnya yang terbukti terlibat dalam kasus narkotika atau kasus terkait dengan Freddy Budiman. Publik amat skeptis kalau 'polisi memeriksa polisi'. Akuilah Pak Kapolri, citra Polri di masyarakat masih tidak bagus, kalau tidak dikatakan jelek. Selama ini Polri terkesan enggak berani memeriksa dan mengadili seadil-adilnya anak-buahnya sendiri. Bukankah anggota masyarakat sekarang umumnya enggan melapor polisi jika menghadapi suatu kasus hukum, karena jika ia melapor, justru ia yang bisa jadi tersangka!
 
Ketiga, semua instansi penegak hukum harus sejujurnya mengakui bahwa Indonesia sudah memasuki gerbang 'gawat darurat narkoba'. Untuk pembasmiannya, seluruh lapisan masyarakat harus dilibatkan. Polisi dan BNN saja tidak bisa. Bahkan polisi dan BNN justru termasuk pihak yang harus diawasi. Kecuali itu, Polri dan BNN jangan marah, apalagi menuding macam-macam jika publik mengawasi mereka dalam implementasi pemberantasan narkoba.
 
Keempat, apa yang dilakukan Haris Azhar, seyogianya, dipandang sebagai bentuk pengawasan, bentuk kritik Kontras dan masyarakat terhadap Polri dan BNN dalam pemberantasan narkoba!
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase hukuman mati

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif