Pertama, warga berumur 60 tahun atau lebih. Warga lanjut usia rentan meninggal dunia bila terinfeksi korona. Kedua, anak-anak berumur 6-11 tahun agar mereka semua dapat kembali ke sekolah. Terlalu lama bersekolah virtual tak bergaul dengan sebaya, tak sehat bagi perkembangan kehidupan sosial anak.
Demi tegaknya keadilan bagi warga, apakah pemerintah menunggu kita mencapai kekebalan komunitas barulah pemerintah melakukan vaksin
booster? Tidak kah bakal 'terlambat', menilik varian Omicron jauh lebih cepat menular jika dibandingkan dengan varian delta?
Jawabnya jelas pemerintah tak akan menunggu sampai tercapai kekebalan komunitas barulah vaksin
booster dilaksanakan. Dalam banyak perkara, Presiden Jokowi cenderung mengambil langkah serentak. Jokowi tak suka kebijakan 'saling tunggu', kebijakan 'urut kacang'. Contohnya, pandemi dikendalikan, serentak pula ekonomi dipulihkan. Vaksinasi pertama dan kedua dilanjutkan, serentak dengan itu
booster pun dilakukan mulai 1 Januari 2022.
Sejauh yang terbaca di media, vaksin
booster gratis diperuntukkan bagi
lansia dan kelompok rentan yang tak mampu membayar. Inilah warga yang iurannya sebagai peserta program jaminan kesehatan dibayar pemerintah. Selebihnya warga yang berbayar.
Otoritas kesehatan dunia (WHO) menentang vaksin
booster. Katanya, vaksin
booster malah bakal memperpanjang pandemi. Di negara miskin yang kebanyakan warganya belum divaksinasi, di situ rawan muncul varian baru korona yang kemudian dapat menyebar ke mana-mana. Oleh karena itu, lebih bijak negara yang mampu melakukan vaksin
booster agar menahan diri. Vaksin ketiga itu lebih diperlukan untuk negara miskin yang rakyatnya belum divaksinasi.
Kenyataan mobilitas manusia zaman sekarang sulit dibatasi. Bergeraknya manusia bukan hanya dari negara kaya ke negara kaya, melainkan juga dari negara kaya ke negara miskin dan kembali ke negara kaya dengan mengidap varian baru yang tertular di negara miskin. Afrika Selatan mengekspor Omicron sampai ke Inggris. Pandemi covid-19 akan berakhir tak hanya bila kekebalan komunitas terjadi di semua negara dengan dua kali vaksinasi, tapi juga vaksin
booster.
WHO tentu harus bicara tegaknya keadilan/pemerataan vaksin, karena itu vaksin
booster dinyatakan tak perlu, sedangkan pemimpin suatu negara harus bicara menyelamatkan warganya dengan memberi vaksin
booster. Demikianlah isi dunia ini, ada atau tak ada korona, kemiskinan dekat dengan kematian. Korona membuatnya sama rata. Korona tak pandang kelas, yang kaya pun mati seketika disengatnya. Bila demikian halnya, adakah negara yang mampu melakukan vaksin
booster menundanya demi mengindahkan seruan moral WHO?