Bahkan, sejak empat dekade terakhir, Amerika Serikat (AS) ialah 'penentu' tunggal arah global. Uni Soviet sudah bubar. Rusia terlalu lemah untuk mengganggu kedigdayaan AS. Iran memang sering melawan, tapi sporadis saja. Kuku-kuku sang adidaya teramat dalam mencengkeram dunia.
Di bidang ekonomi, Amerika ialah raksasa. Negeri yang dipimpin Joe Biden itu memiliki produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia, yaitu mencapai US$25,04 triliun. Angka itu setara dengan seperempat dari total PDB seluruh negara di dunia yang berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) mencapai US$101,56 triliun per 2 November 2022. Indonesia, yang PDB-nya US$1,29 triliun, hanya seperdua puluh limanya Amerika.
Namun, kini, AS mulai 'dijauhi' sejumlah negara. Bahkan negara yang selama ini menjadi sekutunya. Ini terlihat dari mata uang, dedolarisasi, hingga tren pergaulan global yang bak arus balik. Dalam soal mata uang, misalnya. Kini ada upaya 'membuang' dolar AS. Di antaranya dilakukan negara-negara yang bergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan South Africa/Afrika Selatan).
Baca juga:Dolar AS Keok, Harga Emas Dunia Kembali Bersinar Nih |
Sebuah laporan dari Livemint, media asal India, pada akhir Maret lalu mengindikasikan bahwa mata uang baru aliansi ini akan diamankan dengan emas dan komoditas lain. Arab Saudi, sebagaimana ditulis Wall Street Journal, juga akan menggunakan yuan sebagai mata uang dalam perdagangan minyak dengan Tiongkok. Kini mulai dikenal istilah 'dari petrodolar', alat tukar akan 'berganti petroyuan'. Di segi pergaulan internasional, AS pun mulai 'dilupakan' beberapa negara, termasuk sekutu dekatnya. Sebut saja Arab Saudi yang tiba-tiba membina hubungan kembali dengan Iran, di bawah mediasi Tiongkok.
Belum lagi Prancis, seusai Presiden Emmanuel Macron menemui Presiden Tiongkok Xi Jinping, pekan lalu.
Macron mengatakan Eropa harus mengurangi ketergantungannya pada AS. Eropa, tegasnya, harus menghindarkan diri dari terseret ke dalam konfrontasi antara AS dan Tiongkok dalam kasus Taiwan. Macron bahkan secara terbuka dan berani mengatakan bahwa Prancis memang sekutu Amerika Serikat, tapi Prancis bukan 'bawahan' Amerika. Prancis malah siap memimpin aliansi strategis Eropa menjadi negara adikuasa ketiga.
Kondisi ini persis seperti yang dinubuatkan sejarawan ternama AS, Alferd McCoy. Ia pernah memprediksi kedigdayaan Amerika akan runtuh pada 2017. Gejala pelemahan ini sudah tampak sejak Donald Trump menjadi presiden AS. Trump, ujar McCoy, mempercepat penurunan AS. "Abad Amerika mungkin sudah compang-camping dan memudar pada 2025, serta bisa berakhir pada tahun 2030," kata McCoy.
Kenaikan harga, upah yang stagnan, dan daya saing internasional yang mulai pudar akan segera datang. Ia menyebut biang pemudaran terjadi karena adanya pembiaran AS yang selama puluhan tahun dalam kondisi defisit. Celakanya defisit itu bertumbuh karena 'peperangan yang tak henti-hentinya dilakukan AS di negeri-negeri jauh'.
Dolar AS akan kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dominan dunia. Perubahan ini akan mendorong kenaikan harga yang dramatis untuk impor Amerika. Biaya perjalanan ke luar negeri untuk turis dan pasukan AS juga akan meningkat.
Adikuasa dan adidaya yang terus memudar, pada gilirannya tidak mampu membayar tagihannya, Amerika kemudian akan terus ditantang oleh kekuatan seperti Tiongkok, Rusia, Iran, dan lainnya untuk menguasai lautan, ruang angkasa, dan dunia maya. Walhasil, kiranya kita akan segera menyaksikan terus memudarnya Amerika, bahkan amat mungkin runtuhnya dominasi Amerika.
Fakta ini, jika kita cerdas melihat gelagat dan gelanggang geopolitik serta geoekonomi global, mestinya bisa jadi momentum penting. Kira-kira bisa sebangun dengan kondisi saat Bung Karno memanfaatkan tarik-menarik dan unjuk kuasa dua blok besar dunia. Saat itu, Bung Karno menginisiasi Gerakan Nonblok. Sayangnya, gerakan itu belum sampai mampu merekatkan kerja sama ekonomi hingga menjadikan Nonblok sebagai kekuatan penyeimbang yang diperhitungkan.
Kini, mestinya situasi berubah. Kita sudah lebih jauh mengenali bagaimana geopilitik dijalankan di tataran global. Kita juga sudah berkali-kali menjadi pemimpin kerja sama aliansi negara-negara berpengaruh di dunia. Tinggal pertanyaannya, secerdas itukah kita membaca fakta-fakta di depan mata itu?
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id