Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group. MI/Ebet
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group. MI/Ebet (Abdul Kohar)

Abdul Kohar

Dewan Redaksi Media Group

Reproduksi Kedangkalan

Abdul Kohar • 24 Desember 2022 07:59
HAMPIR dua dekade silam, Joseph S Nye Jr, pereka cipta istilah softpower, sudah 'menujum' bahwa keberlimpahan informasi akan mendatangkan masalah. Kata dia, "Keberlimpahan atau ledakan informasi akan menghasilkan sebuah paradoks mati ayam dalam lumbung."
 
Makin melimpah ruahnya informasi bukan membuat orang makin pintar. Keberlimpahan informasi justru menjadikan orang kian sedikit dalam mencurahkan perhatian terhadap suatu hal. Itu sama dengan ayam yang kelaparan lalu mati justru saat di kandangnya berlimpah makanan.
 
Itulah kedangkalan. Situasi itu kian hari kian dikeluhkan. Wajah kekinian menunjukkan bahwa kemajuan teknologi informasi yang dibarengi dengan mudahnya orang mengakses informasi dikritik hanya mereproduksi kedangkalan.
 
Ledakan informasi secara daring telah menjerumuskan banyak pembelajar cenderung mencecap kedangkalan tanpa mencerna kedalaman. Para pencari informasi mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian. Walhasil, yang hadir ialah parade kedangkalan. Alih-alih melakukan pengendapan atau reflektif atas beragam hal yang didapat, banyak orang bahkan merasa tidak punya waktu melakukan skimming (pembacaan cepat). Mereka hanya sanggup melakukan scanning alias pemindaian. Muncullah apa yang kerap dikritik sebagai gejala antiintelektualisme.
 
Gejala itu cenderung menolak atau setidaknya merendahkan, segala upaya orang untuk bersikap reflektif, berpegang konsep, memasarkan ide dan gagasan. Lihat saja konstelasi politik dan demokrasi kita hari-hari ini yang penuh kebisingan dan ingar binger, tetapi kering substansi dan nyaris tanpa kedalaman argumentasi.
 
Aneka perdebatan politik dan demokrasi cenderung berlangsung sekadar pertarungan kepentingan dan ego politik ketimbang mempertengkarkan gagasan dan isi kebijakan. Penguasaan terhadap substansi kebijakan dianggap tidak lagi penting dan digantikan dengan slogan, retorika, dan panggung pencitraan, serta ketergesa-gesaan pengesahan aturan minim pelibatan publik (bahkan ada yang menyebutnya zonder partisipasi).
 
Kehidupan politik juga kering dari sikap kritis. Para oposan tidak cukup punya ruang. Mereka kerap diposisikan sebagai 'musuh bersama', alih-alih mitra kritis yang menyehatkan. Pada saat bersamaan, sebagian oposan juga gagal menghadirkan kedalaman dalam sikap kritis mereka.
 
Sikap antiintelektualisme juga disematkan kepada partai politik dan sejumlah elite politik yang berikhtiar menyorongkan gagasan segar. Tengoklah, saat ada politikus yang giat bersafari sembari menawarkan gagasan perubahan terkait dengan upaya perwujudan keadilan sosial, malah dicurigai dan 'dimusuhi'.
 
Ia bahkan dituding mencuri start. Lalu, bukan gugatan atas gagasan perubahan apa yang hendak dibawa, melainkan sanksi apa yang harus dikenakan kepada yang bersangkutan. Menyedihkan lagi, ada mantan aktivis yang kini bertugas sebagai diplomat, ikut-ikutan 'memberangus' ide perubahan itu dengan mengamini perlunya menghukum dengan narasi curi start.
 
Reproduksi kedangkalan makin menjadi-jadi saat akal sehat kerap dikalahkan oleh banyaknya narasi kebohongan. Era digital telah dimanfaatkan sebagai ajang reproduksi kebohongan. Terjadi pula banalisasi kebohongan.

Baca juga:Suhu Politik Jelang Pemilu 2024 jadi Perhatian


 
Benar belaka apa yang pernah disampaikan guru besar filsafat F Budi Hardiman. Dalam orasi ilmiah saat pengukuhannya sebagai guru besar, akhir tahun lalu, ia menegaskan, "Industri kebohongan telah sampai di ruang privat kita. Mengkhianati akal sehat, memancing kebencian timbal balik. Padahal, apakah bisa disebut komunikasi jika tidak saling mengerti? Apakah bisa disebut demokrasi jika kebohongan merusaknya?"
 
Kiranya, tahun baru ialah saat yang tepat menghambat, bahkan mengakhiri, reproduksi kedangkalan. Caranya, gencarkan lagi literasi kita yang mulai menggeliat, meski masih amat rendah.
 
Publik perlu tahu bagaimana sebuah proses cek fakta dilakukan. Masyarakat mesti paham apa itu hoaks, bagaimana kriterianya, dan di mana letak sumber-sumber kredibel.
 
Pada saat yang sama, kontranarasi dan kehadiran narasi segar juga patut digencarkan, bukan malah dicurigai, apalagi dihakimi. Pandangan bahwa orang yang mengkritik pemerintah ialah haters mesti diubah. Saya amat sepakat dengan pendapat bahwa engagement institusi negara di media sosial harus lebih mengayomi, bukan memerangi. Apalagi memerangi sikap kritis. Selamat datang masyarakat cerdas.
 
Selamat tinggal kedangkalan dan laku banal.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Digitalisasi informasi di era pandemi politik hoax

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif