SETELAH lebih dari empat bulan bergejolak, kisruh yang melanda Partai Golkar akhirnya mendekati ending. Kekisruhan itu memang belum sepenuhnya berakhir, tetapi kepastian perihal siapa yang berhak memimpin partai beringin kuning tersebut telah didapatkan. Kubu Agung Laksono-lah yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan panjang melawan kubu Aburizal Bakrie atau Ical. Pemerintah, lewat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, telah menentukan sikap dengan mengakui kabinet Agung hasil Musyawarah Nasional (Munas) Ancol sebagai pengurus Partai Golkar yang sah.
Pengakuan pemerintah terhadap kepengurusan Agung tentu tak sembarang diberikan. Pengakuan itu dilandaskan pada pijakan yang kuat, dasar yang sah, yakni putusan Mahkamah Partai Golkar sebagai instrumen yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk menyelesaikan konflik internal partai, yang putusannya pun bersifat final dan mengikat. Pada amar putusan di sidang mahkamah, Selasa (3/3), Andi Mattalatta dan Djasri Marin dengan tegas menyatakan hasil Munas Ancol sebagai pimpinan Golkar yang sah.
Sebaliknya, Muladi dan HAS Natabaya tak menganggap sah Munas Ancol yang digagas Agung dan Munas Bali yang mengukuhkan kembali Ical sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Keduanya justru berpendapat persoalan yang ada sebaiknya dibawa ke pengadilan. Benar bahwa keempat hakim tak bulat bersuara. Namun, kalau menilik perimbangan sikap mereka, tak berlebihan jika disimpulkan bahwa kubu Agung unggul 2-0. Tak mengada-ada pula jika Menkum dan HAM mengakui dan mengesahkan kepengurusan Agung. Amat wajar jika setiap keputusan atas sebuah sengketa menyisakan ketidakpuasan salah satu pihak.
Kita pun memaklumi jika kubu Ical mati-matian menolak keputusan pemerintah itu. Namun, kita perlu mengingatkan bahwa salah satu fungsi partai politik ialah sebagai sarana pendidikan politik. Elite-elite partai politik yang berkecimpung di dalamnya wajib memberikan ajaran kepada publik bagaimana cara berpolitik yang jujur, beradab, dan patuh pada aturan main. Politik memang diwarnai rivalitas. Di situlah kedewasaan para politikus dalam berpolitik diuji. Seperti dikatakan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh saat menerima Agung Laksono, kemarin, rivalitas dalam politik ialah hal biasa.
Yang terpenting, ketika penyelesaian atas rivalitas bergulir sesuai dengan aturan main, yang menang sudah sewajibnya tak jemawa dan yang kalah pun seharusnya legawa. Sudah semestinya kubu Agung merangkul kubu Ical dan kubu Ical berbesar hati mendukung kepemimpinan Agung. Itulah makna demokrasi yang sesungguhnya. Itulah yang semestinya dicontohkan para elite kepada rakyat negeri ini. Bagaimanapun, tujuan penyelesaian konflik di tubuh Golkar ialah demi bangsa dan negara juga.
Kita juga menghormati keputusan kubu Agung mencabut keberadaan Partai Golkar di Koalisi Merah Putih dan bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat pendukung pemerintah. Keputusan itu di satu sisi memperkukuh pemerintahan Joko Widodo sehingga program-program pemerintah akan lebih mulus berjalan. Namun, di sisi lain, kita berharap oposisi di parlemen tetap bekerja karena pemerintahan tetap butuh perimbangan. Sudah terlalu lama energi bangsa ini terkuras oleh kegaduhan. Sudah saatnya, seluruh elemen bangsa menanggalkan ego dan berpadu menghadapi tantangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di