Dalam konteks itulah kita semestinya membaca rencana dua anggota parlemen Fadli Zon dan Fahri Hamzah untuk turut serta dalam unjuk rasa 4 November 2016. Keduanya juga menyandang status sebagai Wakil Ketua DPR. Bila keduanya sungguh-sungguh turun ke dalam unjuk rasa, keterlibatan mereka jelas melampaui fungsi dan kewenangan mereka. Sebagai anggota dewan yang terhormat, mereka tentu terikat oleh fungsi kelembagaan DPR sebagaimana diatur undang-undang, yakni pengawasan, penganggaran, dan legislasi.
Keterlibatan anggota dewan dalam unjuk rasa di jalan tidak termasuk salah satu dari ketiga fungsi lembaga legislatif. Itulah sebabnya keterlibatan anggota legislatif berunjuk rasa di jalan dikatakan melampaui fungsi dan kewenangan. Unjuk rasa di jalan sering kali disebut parlemen jalanan. Sebutan parlemen jalanan ialah semacam antitesis bagi parlemen resmi. Rakyat turun ke jalan karena parlemen resmi dianggap gagal mewakili kepentingan rakyat.
Unjuk rasa di jalan menjadi wahana bagi rakyat menyampaikan ekspresi mereka. Jalanan menjadi arena informal bagi rakyat untuk mengkritik, memprotes, atau mengawasi pemerintahan. Sejumlah negara yang demokrasinya sudah maju menganggap anggota parlemen yang berunjuk rasa di jalan tidak beretika. Dikatakan tidak beretika karena anggota parlemen memiliki saluran formal untuk 'berunjuk rasa' atau menjalankan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, dalam konteks unjuk rasa 4 November, bila hendak menjalankan fungsi pengawasan, DPR bisa menggunakan saluran formal untuk memanggil dan mendengar keterangan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok serta Kapolri di gedung parlemen. Dewan bisa mempertanyakan dan mengklarifikasi apakah Ahok telah menghina agama dan kitab suci. Kepada Kapolri, dewan bisa mempertanyakan proses penanganan laporan terhadap Ahok.
Bila kedua anggota dewan itu berunjuk rasa, itu sama saja mereka telah ikut 'memvonis' Ahok bersalah. Padahal, Polri sedang menangani kasus ini. Itu artinya pula, mereka tidak memercayai institusi Polri. Tidak elok rasanya bila anggota dewan turun ke jalan berunjuk rasa. Anggota dewan yang berunjuk rasa di jalanan cuma mempertontonkan kegenitan atawa
kecentilan politik. Disebut kegenitan politik karena mereka bertingkah kebablasan, merebut parlemen jalanan yang menjadi domain rakyat. Juga disebut kecentilan politik karena mereka bertindak berlebihan, melampaui fungsi dan kewenangan mereka.
Apalagi, isu yang diusung pada unjuk rasa 4 November terbilang sensitif dan kontroversial. Itulah sebabnya Nahdlatul Ulama melarang anggota mereka ikut-ikutan demo. Ironisnya, kedua anggota dewan itu malah kegenitan kepingin ikutan unjuk rasa. Betul bahwa tidak ada aturan formal yang melarang anggota parlemen berunjuk rasa. Namun, ini perkara kepantasan. Oleh karena itu, kita berharap anggota parlemen tahu diri, menahan diri, untuk tidak kegenitan melampaui fungsi dan kewenangan mereka demi kemajuan demokrasi kita.
