Pertemuan antartokoh bangsa sejatinya selalu penting untuk melahirkan kesejukan dan solusi bagi permasalahan bangsa.
Itulah yang kita harapkan dari pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7) malam.
Namun, harapan itu tak kesampaian.
Pertemuan itu hanya melahirkan tudingan dan kegaduhan baru.
SBY khawatir pemerintah yang menerbitkan Perppu Ormas telah bertindak absolut, melakukan abuse of power.
Terucap juga dari Prabowo bahwa pengesahan UU Pemilu di DPR ialah lelucon politik yang menipu rakyat.
Tudingan itu tentunya serius. Amat wajar bila Presiden Joko Widodo pun bereaksi.
Jokowi menyebut kekhawatiran SBY terhadap pemerintah terlalu berlebihan.
Ia menilai tak ada pemimpin yang absolut di negeri ini.
Ada kekacauan logika ketika mempertautkan absolutisme dengan sistem demokrasi.
Keduanya adalah dua kutub bertolak belakang. Justru sistem demokrasilah yang akan mengontrol munculnya kekuasaan absolut.
Perihal penerbitan Perppu No 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Presiden sebagai kepala pemerintahan berdasarkan UUD 1945 berwenang menerbitkannya.
Perppu masih harus dibahas di DPR untuk mendapat persetujuan atau penolakan.
Perppu pun bisa diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi.
Di manakah letak kekuasaan absolut seorang Presiden ketika sang Presiden menerbitkan Perppu berdasarkan UUD, bukan berdasarkan kekuasaan semata?
Di manakah letak absolutisme kekuasaan ketika atas nama demokrasi perppu yang dikeluarkan Presiden terbuka luas untuk dibahas di DPR bahkan dipersoalkan di MK?
Di situlah terletak sesat pikir mantan Presiden SBY.
Terus terang kita katakan, dalam perkara penerbitan Perppu Ormas, Presiden Jokowi berani melakukan sesuatu yang SBY takut lakukan semasa ia menjabat presiden.
Kesalahan berpikir juga tampak ketika presidential threshold 20%-25% yang sudah dipakai dalam dua kali pemilu dan terbukti mampu mendukung sistem presidensial malah dimaknai Prabowo sebagai lelucon untuk menipu rakyat.
Bukankah presidential threshold dan UU Pemilu merupakan produk demokrasi yang prosesnya dijalankan berbulan-bulan di DPR dan akhirnya sudah disetujui secara sah dan konstitusional?
Bahwa opsi presidential threshold 20%-25% yang disahkan itu merupakan hasil ikhtiar, strategi, dan taktik politik partai koalisi pendukung pemerintah, bukan tipu-tipu politik seperti dituduhkan mantan kandidat presiden Prabowo.
Ikhtiar, strategi, dan taktik politik yang sama dilakukan Koalisi Merah Putih saat mengegolkan UU MD3 yang menyebabkan PDIP sebagai partai pemenang pemilu tak mendapat jatah kursi pimpinan DPR.
Apakah Presiden Jokowi atau parpol koalisi pendukungnya menyebut itu tipu-tipu politik?
Kita mestinya tak lagi memperdebatkan Perppu Ormas dan UU Pemilu karena yang tidak setuju bisa berjuang lewat mekanisme di DPR atau ke MK.
Karena itu, amat disayangkan bila pertemuan dua mantan--satu mantan presiden dan satu lagi mantan calon presiden--justru memperbincangkan isu-isu yang tak perlu.
Andai mereka bertemu untuk memantapkan visi kebangsaan, bukan hanya bicara kekuasaan jangka pendek, sangat mungkin yang dihasilkan ialah solusi-solusi dahsyat bagi penyelesaian permasalahan bangsa.
Sayangnya tidak.
Oleh karena itu, kita perlu meluruskan sesat pikir kedua mantan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di