Seluruh kandidat sudah mendaftar dan tinggal menunggu penetapan dari KPU. Suasana kompetisi masih dingin, tetapi mungkin sebentar lagi bakal menghangat. Yang harus dijaga ialah jangan sampai suasana itu berubah menjadi panas.
 
Sering kali panas-dingin pesta demokrasi ditentukan bagaimana para kandidat membawa diri. Sejuk-tidaknya kontestasi pemilu di daerah separuhnya akan berada di tangan para calon pemimpin itu. Mengapa? Karena mereka membawa gerbong, yakni para pendukung dan pengikut, dari yang oportunis sampai yang fanatik.
 
Satu kata terucap dari kandidat, satu gerbong akan mengikutinya. Bila yang keluar dari mulut sang calon ialah suara kesejukan, aura kesejukan pula yang digemakan pendukungnya. Sebaliknya, mulut panas sang kandidat bakal memanaskan pula hati pengikutnya.
 
Karena itu, sudah menjadi fatsun tak tertulis bahwa calon-calon pemimpin itu harus memiliki keadaban politik dan keadaban sosial yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Mereka mesti sadar sesadar-sadarnya bahwa kontestasi pilkada menjadi tak berarti bila akhirnya hanya membuat masyarakat menjadi terpecah belah.
Barangkali, semangat itu juga yang diinginkan Presiden Joko Widodo saat menyinggung soal pilkada ketika berkunjung ke Ciamis, Jawa Barat, kemarin. Ia dengan tegas meminta para kandidat pemimpin daerah tidak saling mencemooh, saling menjelekkan, dan saling mencela saat pilkada serentak 2018.
 
Ajang lima tahunan tersebut, menurut Jokowi, mesti dipandang sebagai perhelatan biasa, tidak perlu sampai mengaduk-aduk emosi masyarakat. Ia seperti ingin berpesan, sebuah kompetisi haruslah tetap kompetitif, tetapi bukan berarti mesti menihilkan harmoni. Cemoohan, celaan, apalagi kalau itu dilakukan calon kepala daerah, hanya akan menghapus harmoni tersebut.
 
Dari perspektif peraturan perundang-undangan pun, perilaku seperti itu jelas-jelas diharamkan, terutama saat masa kampanye dimulai. Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 69 telah mengatur hal-hal yang dilarang dilakukan saat kampanye calon kepala daerah.
 
Pasal 69 poin b menyebutkan 'Dalam kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota, calon wakil wali kota, dan/atau partai politik'. Dilanjutkan dengan poin c, 'Dilarang melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat'.
 
Artinya, dari sisi mana pun, tak ada tempat bagi pertarungan saling menjatuhkan dengan cara-cara kotor. Para calon pemimpin daerah harus ingat bahwa kandidat yang mereka hadapi bukanlah musuh, melainkan lawan tanding. Bukan cemoohan yang akan membuat mereka menang, melainkan sportivitas dan jiwa besar.
 
Dimulai dari itu, kita boleh berharap kompetisi sekaligus kehidupan politik di negeri ini bakal naik kelas. Tak lagi sekadar drama yang memunculkan pemimpin 'jadi-jadian', tapi juga menjadi arena pertarungan yang sehat demi rakyat.
 
  
    Cek Berita dan Artikel yang lain di 
  
                    
                            
								
								
								
								
								
								
								
								
								
			        
			            