MASA kampanye sebagai salah satu tahapan penting pemilihan umum kepala daerah (pilkada) telah mendekati ujung.
Ditandai dengan debat publik episode terakhir, tadi malam, paripurna sudah segala daya dan upaya setiap calon untuk memikat hati para pemilih.
Masa kampanye secara resmi memang baru berakhir hari ini, tetapi sejatinya debat publik tadi malam merupakan saat-saat puncak bagi kandidat untuk meyakinkan bahwa merekalah yang paling siap, paling mampu, dan paling layak dipilih.
Debat publik, meski terkadang dicap sebagai perang kata-kata atau arena umbar janji semata, sebenarnya bisa menjadi gambaran konkret perihal kapabilitas calon.
Berbeda dengan rapat akbar yang lebih kental dengan aroma show of force karena yang hadir hanya pendukung pasangan calon, debat publik punya pengaruh lebih luas terhadap konstituen.
Jika rapat akbar lebih berarti untuk menyakinkan pemilih tradisional yang memang sudah mendukung pasangan kandidat sejak awal, debat publik bisa menyasar pemilih rasional.
Lewat debat publik, pasangan calon juga berkesempatan untuk memikat dan memantapkan hati para pemilih yang masih bimbang akan pilihan mereka.
Demikian halnya untuk pilkada DKI Jakarta.
Debat publik bukan sekadar pelengkap kampanye sudah dibuktikan lewat ajang tersebut dua episode sebelumnya.
Hasil survei sejumlah lembaga survei secara gamblang menunjukkan keandalan debat publik sebagai pengubah konstelasi di pilkada DKI Jakarta.
Tingkat elektabilitas ketiga pasangan kandidat, yakni Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, berubah drastis.
Jika sebelumnya pasangan Agus-Sylvi mendominasi hasil jajak pendapat, situasi berbalik setelah debat digelar.
Sebaliknya, pasangan Basuki-Djarot yang tadinya tercecer kini memimpin.
Tingkat keterpilihan pasangan Anies-Sandiaga juga menunjukkan peningkatan signifikan.
Jelas bahwa mereka yang mampu merebut panggung debat dengan menawarkan program-program hebat dan masuk akal yang bisa menarik simpati publik.
Apa pun, setiap pasangan calon telah memanfaatkan setiap kesempatan dalam kampanye selama tiga bulan lebih semenjak 26 Oktober 2016 untuk 'menjual' diri mereka.
Selain melalui debat publik dan rapat akbar, mereka berusaha menjemput hati warga dengan blusukan.
Mulai besok, saat masa tenang bermula hingga Selasa (14/2) nanti, kampanye menjadi barang haram.
Kita berharap masa tenang betul-betul menenangkan, tak dibisingkan kegaduhan dan steril dari segala ragam pelanggaran.
Masa tenang ialah masa-masa bagi kita memantapkan tekad dan kemauan untuk memastikan pilkada lancar dan aman.
Selama tiga hari masa tenang, para pemilih bisa secara khusyuk menimbang dan mencerna visi-misi ataupun program semua calon yang ditawarkan sepanjang kampanye.
Selama tiga hari itu pula kita berharap pemilik hak suara membulatkan hati dan pikiran untuk menjadi pemilih rasional, bukan pemilih emosional.
Pemilih rasional tak suka dengan retorika dan janji-janji manis yang diumbar calon, juga tak ingin membiarkan diri terpasung oleh pertimbangan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Bagi mereka, integritas, kredibilitas, serta program dari kandidat yang menjadi referensi utama untuk menjatuhkan pilihan.
Pilkada yang berkualitas ditentukan tak cuma oleh baiknya penyelenggaraan, tetapi juga oleh seberapa berkualitas kontestan dan tingginya tingkat partisipasi pemilih.
Seluruh calon sudah memberikan tawaran, kini saatnya pemilih berpartisipasi menentukan pilihan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
