PERDEBATAN dan polemik mengenai status hukum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terus berlanjut. Setelah masa cuti kampanye pilkada DKI Jakarta putaran pertama berakhir, Basuki kembali aktif menunaikan tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memutuskan untuk mengembalikan Basuki sebagai gubernur pada 11 Februari 2016.
Akan tetapi, sejumlah kalangan mempersoalkan kembalinya Basuki bertugas sebagai gubernur aktif. Itu disebabkan Basuki dinilai masih berstatus terdakwa dalam kasus penistaan agama. Fakta hukum yang masih berlangsung ialah mantan Bupati Belitung Timur itu didakwa menistakan agama terkait dengan pidatonya di Kepulauan Seribu yang menyinggung Surah Al Maidah ayat 51.
Basuki dijerat dengan Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP. Pasal 156 menyebutkan ancaman hukuman penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500. Pasal 156a menyebut ancaman pidana penjara selama-lamanya 5 tahun. Desakan agar Basuki dinonaktifkan sejatinya tidak terlepas dari adanya multitafsir terhadap peraturan perundangan, khususnya atas Pasal 83 UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa jika seseorang berstatus terdakwa, ia bisa dinonaktifkan sementara.
Padahal, dalam Pasal 83 ayat 1 UU Pemda secara eksplisit dinyatakan, 'Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia'.
Faktanya, saat ini Basuki didakwa dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun dan Pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 5 tahun. Beda tafsir mengenai terminologi 'paling singkat' dan 'paling lama' dari masa hukuman terdakwa inilah yang menimbulkan pro-kontra terkait dengan pengaktifan kembali Basuki dan terus dipersoalkan.
Sejatinya, perbedaan tafsir dan pendapat mengenai status hukum Basuki dan konsekuensinya ialah sah belaka. Kita mengapresiasi langkah Mendagri Tjahjo Kumolo yang meminta fatwa kepada Mahkamah Agung untuk memperkuat landasan hukum dari pengaktifan kembali Basuki. Di sisi lain, kita pun menghargai MA yang menggunakan hak untuk menolak memberikan fatwa terkait dengan hal itu.
Yang ingin kita tekankan ialah biarkanlah perkara Basuki menjabat kembali sebagai gubernur tetap sebagai perkara hukum. Harus kita camkan bahwa kembali menjabatnya Basuki didasarkan atas dasar pertimbangan hukum dari Mendagri. Menunggu putusan hukum tetap atas perkara Basuki tentu merupakan solusi paling hitam putih. Sebelum putusan hukum tetap dari pengadilan itu keluar, yang paling arif ialah semua pihak menahan diri untuk membuat perkara Basuki ini tetap sebagai perkara hukum.
Artinya janganlah perkara Basuki ini diintervensi secara politik dengan penggalangan hak angket di DPR. Jangan pula perkara tersebut dipaksa untuk diputuskan secara nonyuridis, antara lain melalui tekanan massa melalui unjuk rasa yang menurut rencana digelar besok di gedung parlemen.
Intervensi politik hanya akan menciptakan kegaduhan di tengah jalannya pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Kita berharap siapa pun yang waras hukum tidak terpengaruh karena itu hanyalah gertak politik. Berikan ketenangan bagi semua pihak, baik penyelenggara, peserta, maupun pemilih, untuk mempersiapkan diri menghadapi putaran kedua. Jangan tambah lagi suasana panas pilkada dengan kegaduhan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
