MUDIK sudah menjadi semacam ritual yang menyertai Lebaran. Inilah ritual yang tidak mengenal status sosial. Kaya maupun miskin, semuanya berduyun-duyun mudik.
Jumlah pemudik tahun ini mencapai 19,5 juta orang atau meningkat 5% dari tahun lalu. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pengelolaan mudik menjadi salah satu indikator mutu pemerintah melayani kebutuhan warga.
Harus jujur diakui bahwa pengelolaan mudik tahun ini berjalan dengan baik. Pengelolaan mudik selalu menjadi persoalan krusial yang dihadapi pemerintahan yang silih berganti. Bila
mudik diurus asal-asalan, tak jarang orang mengantar nyawa di jalan.
Kisah kelam mudik itu kini tinggal menjadi kenangan karena pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla kali ini berhasil menjadikan mudik sebagai perjalanan yang lancar dan menyenangkan, kendati terjadi kemacetan pada puncak mudik kedua.
Puncak mudik pertama, pada 8-9 Juni, secara umum arus kendaraan berjalan lancar. Mereka yang mudik saat itu pada umumnya pegawai negeri yang ikut cuti bersama. Akan tetapi pada puncak mudik kedua, pada 12-13 Juni, sempat terjadi kemacetan. Mereka yang terjebak macet itu ialah pegawai swasta yang baru libur. Tetapi, dengan penerapan contra flow dan satu arah, kemacetan relatif bisa diatasi.
Tantangan menghadapi arus balik tentu jauh lebih berat. Pemerintah memprediksi puncak arus balik Lebaran tahun ini terjadi pada 19-20 Juni 2018. Untuk mengantisipasi kepadatan kendaraan di puncak arus balik, kiranya perlu dibuatkan beberapa skenario guna mengurai kepadatan kendaraan. Ada tiga pintu utama untuk masuk Jakarta melalui darat, yaitu lewat tol Merak dari arah Barat serta tol Jagorawi dan tol Cikampek yang bertemu di Cawang dari arah timur.
Salah satu cara yang efektif untuk mengurai kemacetan ialah contra flow atau lawan arus seperti yang dilakukan saat arus mudik. Cara lain yang sudah dipertimbangkan pihak kepolisian ialah melakukan sistem buka-tutup pintu tol dalam kota sebagai salah satu skenario mengantisipasi kepadatan kendaraan.
Jauh lebih penting lagi ialah menjadi pengguna jalan yang cerdas. Disebut cerdas jika pengguna jalan kembali Jakarta sebelum pucak mudik, misalnya 17-18 Juni. Cerdas saja tidak cukup, harus menjadi pengguna jalan yang bijak, yaitu mematuhi dengan sungguh-sungguh aturan lalu lintas. Kepatuhan berlalu lintas itu sesungguhnya cermin keadaban warga.
Mereka yang datang dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat bisa memilih jalan nasional untuk mencapai Jakarta. Mereka bebas memilih jalan nasional lewat jalur pantai utara (pantura) sepanjang 1.341 kilometer, jalur tengah (1.197 km), dan jalur pantai selatan (pansela) sejauh 1.405 km yang menawarkan panorama keindahan alam.
Selain jalan nasional yang kondisinya mantap, kelancaran arus balik tahun ini juga ditunjang pembangunan jalan tol. Sudah dibangun jalan tol dari Merak, Banten, ke Pasuruan, Jawa Timur, sepanjang 995 (km), 760 km operasional penuh dan sisanya, 235 km, telah fungsional.
Sama seperti saat mudik, kelancaran arus balik kali ini ditunjang pula oleh pilihan moda transportasi yang semakin beragam dan murah, seperti penerbangan dan transportasi laut.
Jika keberhasilan pengelolaan mudik menjadi indikator mutu pemerintah melayani kebutuhan warga, harus jujur diakui, pemerintahan Jokowi-JK sudah berhasil melakukan itu. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa mudik kali ini mencatat rekor waktu tercepat tiba di kampung halaman.
Diharapkan pemerintah tetap menjaga dengan sungguh-sungguh mutu pelayanan saat arus balik. Dalam kaitan itulah, melalui forum ini, kita memberikan apresiasi kepada pihak kepolisian dan TNI, serta Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR yang telah memberikan rasa aman dan nyaman saat mudik, selama Lebaran, dan juga mudah-mudahan saat arus balik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
