PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu akhirnya tuntas di Rapat Paripurna DPR, malam tadi. Selama sembilan bulan RUU itu dibahas di tingkat panitia khusus, selama itu pula publik menunggu dengan perasaan harap-harap jengkel. Ada pengharapan UU Pemilu yang dihasilkan kelak betul-betul dapat menjadi pedoman yang ideal bagi pelaksanaan pemilu serentak 2019.
Akan tetapi, pada saat bersamaan ada bertumpuk kejengkelan melihat dinamika pembahasan di parlemen yang amat panjang dan bertele-tele. Padahal, dua pekerjaan besar demokrasi di Indonesia itu mestinya sudah memulai tahapan pada Juni 2017 lalu. Namun, itulah politik di alam demokrasi. Menjengkelkan seperti apa pun prosesnya, kita tetap harus menerima hasilnya.
Semolor-molornya pembahasan, akhirnya publik mesti terima semua keputusannya. Termasuk keputusan terkait dengan isu yang selama sembilan bulan ini paling sengit diperdebatkan, yakni presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Opsi presidential threshold 20%-25% mendapat dukungan dari fraksi partai-partai politik koalisi pemerintah, yaitu PDIP, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai NasDem, dan Partai Hanura. Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera mendukung opsi tanpa presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden 0%.
Partai Amanat Nasional memilih jalan tengah, yakni ambang batas pencalonan presiden 10%. Keempat partai itu pun memilih tidak mengikuti voting. Dengan begitu, ambang batas pencalonan presiden diputuskan 20%-25%. Itu artinya Pemilu 2019 akan mengulang dua pemilu sebelumnya (2009 dan 2014) yang menetapkan syarat pencalonan presiden minimal 20% kursi di DPR atau 25% jumlah suara sah nasional.
Ketidakpuasan atas hasil itu tentu akan tetap ada. Boleh jadi ada sebagian partai politik yang tak puas dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Di era demokrasi, hal itu bukan sesuatu yang haram dilakukan dan memang itulah jalan terbaik untuk menyalurkan ketidakpuasan terhadap produk undang-undang.
Namun, tentu saja itu akan melelahkan dan memakan waktu lagi. Padahal, publik sangat menginginkan tak ada lagi hambatan bagi tahapan pemilu yang sudah di depan mata. Idealnya, begitu UU Pemilu diketuk, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa langsung bekerja karena sudah punya landasan hukum untuk memulai tahapan pelaksanaan pemilu.
Terlebih, forum editorial ini juga pernah mengingatkan bahwa Pemilu 2019 akan menjadi pertaruhan terberat UU Pemilu tersebut. Apakah UU Pemilu mampu meningkatkan kualitas pemilu serentak 2019? Lebih dari itu, apakah UU Pemilu sanggup membawa bangsa Indonesia melakukan konsolidasi demokrasi, atau tetap berada di masa transisi demokrasi, atau malah mengalami kemunduran demokrasi?
Sudah jelas demokrasi di Republik ini tak boleh mundur ke belakang. Karena itu, bila sudah disepakati, sudahi perdebatan, mari bersama-sama memastikan sekaligus mengawal UU Penyelenggaraan Pemilu menjadi sebuah undang-undang yang visioner dan berperspektif kebangsaan. Kita tidak menginginkan UU Pemilu sekadar aturan yang hanya mengakomodasi kepentingan jangka pendek dari kelompok dan golongan tertentu.
Visioner dalam arti undang-undang yang dilahirkan dari proses panjang itu harus dapat meningkatkan kualitas pemilu di negeri ini pada masa-masa mendatang. Bahkan, mestinya undang-undang itu punya magnitudo yang besar untuk mengerek kualitas sistem demokrasi presidensial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di