Mereka kemudian sering menggunakan metode tidak langsung untuk mengakhiri hubungan, yaitu
ghosting ini. "Akan lebih mudah dengan cara menghilang daripada menghadapi langsung karena menghadapi secara langsung akan membutuhkan upaya ekstra dalam memberikan penjelasan, yang dapat juga memunculkan serangkaian konflik-konflik baru," jelas Koordinator Bidang Psikologi Klinis, Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi UGM ini.
Ghosting juga bisa terjadi karena pelaku tidak tahu bagaimana cara mengomunikasikan konflik dan mencari resolusi konflik. Kondisi ini biasanya diistilahkan dengan “malas membahas” atau “malas ribut”.
Baca juga:
6 Tanda Anda Kena Ghosting Selama Masa PDKT
Mereka beranggapan masalah akan terselesaikan sendiri seiring dengan berjalannya waktu. Kemungkinan lain, mereka juga merasa tidak nyaman menggantungkan permasalahan.
Namun demikian, menurut mereka akan lebih mudah bersikap seperti itu daripada harus menghadapinya saat ini. "Pemicu
ghosting adalah adanya perasaan tidak nyaman dalam relasi atau saat ada ketidakcocokan yang tidak bisa dikomunikasikan secara terbuka," jelasnya.
Idei menyampaikan, jika alasan seseorang melakukan
ghosting tidak bisa digeneralisasikan. Oleh sebab itu, disaranakan untuk tidak memberi label pelaku
ghosting karena tidak benar-benar mengetahui riwayat kehidupan dan dinamika psikologis pelaku sehingga ia sampai pada perilaku tersebut.
Lebih lanjut Idei menyampaikan bahwa
ghosting pada dasarnya adalah penolakan, hanya tanpa finalitas. Jadi tidak benar-benar ada kata “selesai” atau “putus”. Itu terjadi ketika seseorang berhenti menjawab teks atau panggilan telepon tanpa penjelasan lebih lanjut.