Guru Besar Sekolah Sains Data, Matematika, dan Informatika IPB University, Yeni Herdiyeni, mengatakan ChatGPT bisa memicu ketergantungan, menurunkan kemampuan berpikir kritis, dan membuka akses terhadap informasi yang belum tentu sesuai usia. Dia menegaskan pemanfaatan ChatGPT di kalangan anak-anak harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
“Teknologi ini memiliki dua sisi. Ada sisi positif dan negatifnya. Dari sisi positif, ChatGPT mempermudah kita mengeksplorasi pengetahuan. Namun, jika digunakan secara instan tanpa berpikir, otak anak tidak akan terlatih,” ujar Yeni dalam program IPB Pedia melalui keterangan tertulis dikutip Kamis, 6 November 2025.
Ketua Program Studi Kecerdasan Buatan IPB University itu menjelaskan ChatGPT memberikan informasi secara cepat dan praktis. Tetapi, penggunaan yang berlebihan dapat melemahkan kemampuan kognitif anak.
“Kalau kita mencari sesuatu langsung pakai ChatGPT, informasi memang keluar dengan cepat, tapi setelah itu bisa lupa. Otak tidak terlatih untuk mengingat dan menganalisis,” ujar dia.
Dia mengatakan teknologi ini lebih aman digunakan oleh orang dewasa yang sudah mampu memverifikasi kebenaran informasi. Yeni mengimbau penggunaan ChatGPT pada anak usia SD mesti dalam pengawasan.
“Anak-anak masih butuh pengembangan motorik dan kognitif. Kalau kemampuan itu tergantikan oleh ChatGPT, otak mereka tidak berkembang optimal,” kata dia.
Yeni mengatakan ChatGPT dikembangkan dengan prinsip menyerupai cara kerja otak manusia, melalui teknologi transformer dan algoritma long short term memory (LSTM). Namun, tetap ada kelemahan seperti bias dan halusinasi data yang bisa menyesatkan pengguna.
“Karena itu, masyarakat harus tahu bahwa tidak semua jawaban ChatGPT benar,” ujar dia.
Dia juga menyoroti kebijakan pengenalan AI sejak dini. Pemerintah perlu menekankan pada penguatan computational thinking (cara berpikir komputasional), bukan sekadar kemampuan coding.
“Computational thinking itu melatih kemampuan otak manusia untuk memecahkan masalah, berpikir logis, dan mengenali pola. Sedangkan coding hanyalah implementasi dari kemampuan itu,” jelas dia.
Yeni menyarankan agar guru dan orang tua tidak serta-merta menyerahkan proses belajar anak kepada ChatGPT. “Kalau ada tugas sekolah, sebaiknya tetap ajari anak berpikir dan mencari jawaban sendiri. ChatGPT bisa dipakai untuk membantu, tapi bukan untuk menggantikan proses belajar,” kata dia.
Ia menegaskan pentingnya pendekatan human-centered dalam penggunaan AI. Artinya, manusia harus tetap menjadi pusat dalam proses pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
“Teknologi seperti ChatGPT bisa jadi sumber belajar yang luar biasa bila digunakan dengan bijak. Tapi tanpa bimbingan, bisa berubah menjadi jebakan digital,” ujar dia.
Yeni mengingatkan bijak menggunakan teknologi berarti turut membentuk generasi yang cerdas, kritis, dan beretika di era digital. Peran orang tua dan pendidik sangat penting untuk mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penggunaan ChatGPT oleh anak-anak.
"Dengan pendampingan yang tepat, teknologi ini bisa menjadi sahabat belajar yang aman dan bermanfaat,” tutur dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id