Ilustrasi mirin. DOK Freepik
Ilustrasi mirin. DOK Freepik

Aturan Muhammadiyah Soal Penggunaan Mirin Bagi Umat Muslim di Jepang

Renatha Swasty • 06 Oktober 2025 17:56
Jakarta: Jepang tengah menjadi tren di kalangan warga negara Indonesia untuk bekerja. Ini lantaran kebutuhan tenaga kerja yang tinggi dan pendapatan yang bisa didapat lebih dari bekerja di Indonesia. 
 
Nah, banyak warga negara Indonesia khususnya umat muslim di Jepang yang bingung dengan penggunaan mirin ketika mesti memasak. Mirin merupakan bumbu penting dalam kuliner Jepang. 
 
Berbeda dengan tradisi masakan Indonesia yang mengandalkan berbagai rempah, masyarakat Jepang menggunakan mirin untuk menambah cita rasa, menjaga tekstur masakan, dan menghilangkan bau amis, terutama pada olahan ikan dan daging.

Mirin dibuat dari beras ketan, ragi beras, alkohol hasil fermentasi, dan gula, melalui proses fermentasi 40 hingga 60 hari yang menghasilkan kadar alkohol 12,5–14,5 persen.
 
Persoalan bagi umat muslim adalah kandungan alkohol dalam mirin. Lantas bagaimana hukum penggunaan mirin saat tengah tinggal di Jepang? Yuk simak penjelasannya berikut ini dikutip dari laman muhammadiyah.or.id
 
Dalam praktik memasak, alkohol mirin biasanya menguap, meninggalkan rasa manis khas yang tidak memabukkan. Bahkan, mirin dianggap aman dikonsumsi untuk ibu hamil maupun bayi dan dipandang sebagai bumbu masakan, bukan minuman keras.
 
Hal ini tercermin pula dari kebijakan pemerintah Jepang yang mengenakan pajak mirin jauh lebih rendah dibandingkan dengan bir. Namun, pada perayaan tertentu seperti tahun baru, sebagian masyarakat Jepang juga mengonsumsi mirin sebagai minuman untuk mabuk, sehingga dalam konteks tersebut berstatus khamr.
 
Majelis Tarjih dan Tajdīd Pimpinan Pusat Muhammadiyah resmi mengeluarkan fatwa mengenai penggunaan mirin, bumbu tradisional Jepang, dalam masakan bagi umat Islam, khususnya muslim minoritas yang hidup di Jepang.
 
Majelis Tarjih menggunakan pendekatan fiqh al-aqallīyāt (fikih minoritas) dalam menetapkan hukum, yaitu fikih yang dirancang untuk menjawab kebutuhan umat Islam yang hidup sebagai minoritas di negara non-muslim.
 
Prinsip utama dari pendekatan ini adalah memberi kemudahan tanpa keluar dari koridor syarī‘at, menjaga identitas Islam sembari berintegrasi dengan masyarakat lokal, serta mempertimbangkan perubahan zaman dan konteks setempat.
 
Dalam pengkajiannya, Majelis Tarjih menerapkan sejumlah kaidah fikih, yaitu al-masyaqqah tajlib al-taysīr (kesulitan melahirkan kemudahan), al-ḥukm ‘ala al-shay’ far‘un ‘an taṣawwurihi (hukum bergantung pada pemahaman yang tepat terhadap objeknya), serta al-umūr bi-maqāṣidihā (hukum mengikuti niat penggunaannya).
 
Selain itu, mirin dipandang melalui kebutuhan kuliner masyarakat Jepang yang bersifat mengakar (al-ḥājah qad tanzilu manzilat al-ḍarūrah), serta dikaitkan dengan adat yang berlaku (al-‘ādah muḥakkamah), serupa dengan posisi tape di Indonesia yang mengandung alkohol rendah tetapi tidak dipandang sebagai khamr.
 
Pertimbangan lain yang digunakan adalah konsep istiḥālah (transformasi zat), di mana pemanasan saat memasak menyebabkan alkohol dalam mirin menguap sehingga sifat memabukkannya hilang.
 
Majelis Tarjih juga mengacu pada pendapat ulama yang menyatakan alkohol tidak najis secara zat, melainkan hanya najis bila digunakan sebagai khamr. Pandangan ini selaras dengan fatwa European Council for Fatwa and Research (ECFR), pendapat al-Syawkani, serta fatwa Majelis Tarjih tahun 2013.
 
Berdasarkan pengkajian halaqah pada Januari 2025 dan sidang tim fatwa pada 19 September 2025, Majelis Tarjih menetapkan tiga poin hukum:
  1. Penggunaan mirin sebagai bumbu masakan diperbolehkan (mubāḥ) bagi muslim di Jepang, dengan syarat dimasak hingga alkoholnya menguap, sehingga tidak lagi memabukkan. Mirin dalam konteks ini tidak dianggap najis
  2. Meminum mirin secara langsung atau menggunakannya tanpa dimasak tetap dihukumi ḥarām karena berpotensi memabukkan
  3. Fatwa ini berlaku khusus di Jepang. Untuk konteks Indonesia, mirin tidak diperlukan sehingga penggunaannya tidak dibolehkan, demi menutup peluang penyalahgunaan
  4. Fatwa ini juga memperhatikan pandangan ulama kontemporer seperti Yūsuf al-Qaraḍāwī dan fatwa AMJA (Majma‘ al-Fiqh al-Islāmī bi Amrīkā) yang membolehkan penggunaan alkohol dalam kadar kecil sebagai aditif makanan setelah melalui proses istiḥālah. Meski begitu, dalam konteks Indonesia, Majelis Tarjih menegaskan prinsip sadd al-dharī‘ah (menutup jalan keburukan) dengan tidak memperbolehkan mirin.
Majelis Tarjih menilai keputusan ini mencerminkan upaya memberikan solusi relevan bagi muslim minoritas di Jepang dengan tetap menjaga syarī‘at, memperhatikan budaya setempat, serta memastikan identitas keislaman tetap terjaga.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan