Bagus Putra Muljadi, Assistant Professor di University of Nottingham, Nottingham, Inggris, Medcom.id/Citra Larasati.
Bagus Putra Muljadi, Assistant Professor di University of Nottingham, Nottingham, Inggris, Medcom.id/Citra Larasati.

Diaspora Indonesia di University of Nottingham

Bermodal IPK 2,70 Sukses Jadi Ilmuwan di Inggris

Citra Larasati • 19 Agustus 2018 13:09
Bogor:  Bagus Putra Muljadi, 35 tahun, mengaku sebagai mahasiswa yang biasa-biasa saja saat di Teknik Mesin, Institut Teknologi Bandung (ITB).  Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)-nya tak genap 3.0, dia bahkan sempat empat kali berganti-ganti jurusan.
 
Namun Bagus berhasil membuktikan, bahwa meski penting, nilai akademik bukanlah segala-galanya. Menjadi mahasiswa yang cenderung rata-rata secara akademik, tidak menjadi halangan bagi Bagus untuk berkarier di perguruan tinggi, bahkan kini ia berhasil menjadi ilmuwan muda kelas dunia.
 
Tak tanggung-tanggung, namanya bertengger di jajaran staf pengajar dengan jabatan Assistant Professor di salah satu perguruan tinggi top 100 dunia, University of Nottingham, Nottingham, Inggris, pada departemen Teknik Lingkungan dan Kimia.

"Kalau saya bilang, kesuksesan saya mendapatkan jabatan di Inggris bukan karena kepintaran akademik, karena saya ini mahasiswa yang sebenarnya "B (biasa)" saja.  Tapi karena ketepatan pengambilan keputusan, yang membuat saya bisa di posisi sekarang," ungkap Bagus, ditemui saat mengisi sesi seminar di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).
 
Baca: Menjadi Agen Knowledge Exchange untuk Indonesia
 
Empat kali berpindah-pindah program studi yang sering dianggap sebagian orang sebagai suatu kelemahan, juga tak berlaku bagi Bagus.  Tidak liniernya bidang yang ia pelajari, justru menjadi sumber kekuatan, dan jadi pembuka jalan karier di kampus yang berdiri sejak 1798 ini.
 
Berpindah-pindah jurusan, membuat portofolio risetnya beragam, jaringan kelompok riset Bagus pun luas.  "Saya punya publikasi di bidang matematika, saya punya publikasi di bidang engineering, saya punya publikasi di bidang ilmu bumi, itu menjadi modal bagi saya untuk tembus University of Nottingham," tuturnya.
 
Ilmuwan lulusan S2 Mekanika Terapan di National Taiwan University (NTU) inipun menceritakan, awal mula Ia masuk University of Nottingham, tepat 1,5 tahun yang lalu.  Pihak kampus kala itu memanggil para pelamar wawancara untuk mengisi jabatan lecturer.  Jabatan tersebut di Inggris, merupakan jabatan permanen di seluruh perguruan tinggi Inggris.
 
"Nomor satu yang menjadi pertanyaan para pewawancara adalah, apakah pelamar sudah dewasa secara akademik?" ujar Bagus.
 
Pertanyaan tersebut, kata Bagus, akan sulit dijawab jika pelamar hanya memiliki riset yang homogen.  "Karena latar belakang saya beragam, saya bisa menjawab bahwa riset saya sudah dewasa, karena saya tidak bergantung pada salah satu grup riset saja, dan kita independen secara akademik," terang asisten profesor termuda di departemennya ini.
 
Jadi biarpun IPK Bagus hanya 2,70, atau cenderung biasa-biasa saja,  namun riset beragam yang berada di belakang Bagus, lintas disiplin, serta lintas negara yang ia miliki, justru menjadi nilai jual yang mampu menopang kekurangan akademiknya. "Sebenarnya di Inggris juga tidak ada yang mempertanyakan itu (IPK)," jelas Bagus yang pernah bekerja di Institut de Mathématiques de Toulouse Prancis ini.
 
Di Inggris, kata Bagus, yang terpenting adalah bisa mengajar, memiliki riset bagus, dan bisa memenangkan dana hibah. "Yang ketiga itu malah jadi faktor dominan dalam penerimaan faculty member yang baru," terang Bagus
 
Latar belakang berganti-ganti jurusan itu juga yang jadi nilai plus, untuk mengantisipasi dinamisnya peruntukkan dana riset di Inggris.  Dana hibah ini biasanya diberikan oleh pemerintah maupun swasta.
 
"Jadi kalau riset kita monoton, dan hanya bisa melakukan riset dengan grup tertentu saja, begitu riset tersebut tidak trendi lagi pada tahun itu, kita akan kesulitan. Jadi itu yang bisa kita bilang pada comittee biarpun political situation berubah-ubah, saya bisa mengikutinya," terang pria yang pernah Postdoctoral di Program studi Ilmu Bumi dan Teknik, Imperial College London, Inggris selama 2,5 tahun ini.
 
Baca: Delapan Rektor dan Dosen Raih Academic Leader Awards 2018
 
Ketika ditanya perbedaan apa saja yang ada antara iklim perguruan tinggi di dalam negeri dan Inggris, Bagus mengatakan bahwa pada prinsipnya sama dalam konsep tridarma.  Setiap dosen di Inggris juga diwajibkan untuk mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian masyarakat.
 
"Hanya saja, di Inggris ada sedikit tambahan, yakni memenangkan dana hibah," jelas penyuka Band Padi itu.
 
Di Inggris, kata Bagus, infrastruktur perguruan tingginya sudah memadai untuk akademisi melakukan Tridarma secara simultan. "Contohnya dana lebih besar, jadi saya bisa mendelegasikan beberapa pekerjaan itu dibantu mahasiswa Ph.D dan Postdoc saya. Di indonesia bukan berarti dosennya malas. Tapi infrastrukturnya pun harus dimaklumi juga. Sebenarnya secara esensi sama, dan Indonesia tidak kalah," tegas Dia.
 
Menurut Bagus, di Indonesia sudah ada beberapa universitas yang sudah menjalankan konsep seperti di Inggris, namun perlu diakui banyak juga yang belum menjalankan. "Di Inggris itu ada kurang dari 100 universitas, dan iklim akademiknya sudah terbentuk. Sedangkan di  Indonesia ada sekitar 4.500 perguruan tinggi, dan iklimnya belum terbentuk. Inilah kenapa sekarang ilmuwan diaspora ini diundang datang," tutup Bagus.
 
Baginya, pemerintah dapat memanfaatkan para ilmuwan diaspora yang ada di luar negeri ini secara optimal untuk memajukan perguruan tinggi di Indonesia. Sebab selain murah, investasi melalui ilmuwan diaspora ini juga menjadi investasi tepat guna.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan