Anam menegaskan RUU Perlindungan Pelajar Indonesia di Luar Negeri tidak bisa ditunda lagi. Sebab, menyangkut keselamatan, keberlangsungan studi, hingga masa depan ribuan pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di berbagai negara.
“RUU ini bukan hanya bicara tentang bagaimana mengevakuasi mahasiswa dari zona perang, tetapi juga bagaimana negara menjamin mereka terlindungi dari praktik eksploitasi, diskriminasi, hingga ketidakpastian akademik yang kerap terjadi,” kata Anam dalam keterangan tertulis, Rabu, 10 September 2025.
Anam membeberkan beberapa contoh kasus pelajar Indonesia di Luar Negeri. Pertama, perdagangan orang berkedok magang ke Jerman pada 2024.
Ratusan mahasiswa Indonesia dijebak melalui program Ferienjob ke Jerman yang diklaim sebagai program magang resmi. Faktanya, banyak dari mereka dipaksa bekerja kasar di pabrik dengan jam panjang, gaji rendah, tanpa perlindungan hukum.
Kasus ini dibongkar oleh KBRI Berlin dan Bareskrim, dan terbukti merupakan bentuk perdagangan orang. Peristiwa ini menunjukkan minimnya verifikasi dan perlindungan hukum negara terhadap mahasiswa yang berangkat lewat jalur program non-formal.
Kedua, evakuasi mahasiswa Indonesia dari Sudan pda 2023. Sekitar 897 WNI, mayoritas mahasiswa harus dievakuasi ketika perang meletus di Sudan. Mereka mengalami trauma, kekurangan makanan, dan terputusnya akses pendidikan.
Banyak dari mereka akhirnya kehilangan masa studi akibat situasi darurat tersebut. Hal ini menyebabkan banyak mahasiswa dari Sudan tidak dapat melanjutkan studi atau bahkan harus mengulang studinya dari awal saat kembali ke Indonesia.
Ketiga, evakuasi mahasiswa Indonesia dari Iran pada 2025. Puluhan mahasiswa harus dievakuasi dari Qom dan Teheran ketika perang Iran–Israel pecah. Mereka kehilangan akses pendidikan, mengalami isolasi akibat internet putus, dan tidak ada kepastian apakah kuliah mereka dapat dilanjutkan.
Keempat, kasus kecelakaan atau kematian pelajar di luar negeri. Banyak kasus kecelakaan mahasiswa dan mungkin yang meninggal di luar negeri yang sering kali mahasiswa harus patungan untuk membantu kepulangan jenazah rekannya.
Kasus terbaru, ketika seorang pelajar Indonesia meninggal saat mendampingi kegiatan delegasi resmi, memperlihatkan lemahnya mekanisme pengawasan negara terhadap aktivitas mahasiswa di luar negeri.
Baca juga: Pelajar Indonesia Meninggal Saat Dampingi Delegasi RI, Mahasiswa Diminta Tak Ladeni Tawaran Fasilitasi Pejabat Publik |
Kelima, kasus tekanan psikologis dan diskriminasi akademik. Beberapa pelajar di Eropa Timur dan Timur Tengah pernah melaporkan diskriminasi etnis, kesulitan akses beasiswa, bahkan ancaman deportasi akibat regulasi imigrasi yang tidak berpihak pada mahasiswa asing. Tanpa instrumen hukum yang kuat, negara sering hanya bisa bersikap reaktif.
Anam menjelaskan ada beberapa hal yang mendesak RUU Perlindungan Pelajar Indonesia segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR. Pertama, perlindungan fisik dan nyawa.
Dia mengatakan evakuasi saat perang Iran dan Sudan menunjukkan mahasiswa sangat rentan ketika konflik meletus. Prosedur darurat yang jelas perlu diatur secara hukum, bukan sekadar kebijakan ad hoc.
Kedua, perlindungan akademik dan studi. Banyak mahasiswa kehilangan hak studinya akibat perang, deportasi, atau program palsu (seperti kasus magang ke Jerman). RUU ini harus mengatur bagaimana negara menjamin keberlangsungan studi—misalnya dengan fasilitasi transfer kredit, perjanjian dengan universitas mitra, hingga jaminan pengakuan akademik di Indonesia.
Ketiga, perlindungan dari eksploitasi dan perdagangan orang. Kasus Jerman membuktikan mahasiswa dapat dijadikan korban perdagangan manusia dengan dalih magang. RUU ini harus mengatur verifikasi ketat semua program kerja/praktik di luar negeri agar tidak ada lagi korban eksploitasi.
Keempat, perlindungan sosial dan psikologis. Studi di luar negeri sering menimbulkan tekanan mental: isolasi, diskriminasi, bahkan pelecehan. Negara harus hadir dengan sistem pendampingan psikologis, hotline darurat, serta jaringan advokasi yang terstruktur.
Kelima, mekanisme koordinasi antar kementerian. Selama ini, perlindungan mahasiswa di luar negeri hanya menjadi domain Kementerian Luar Negeri. RUU harus mengikat lintas kementerian: Kemendikbud, Kemenlu, Kemenaker, bahkan aparat hukum, agar perlindungan mahasiswa bersifat menyeluruh.
"RUU Perlindungan Pelajar Indonesia di Luar Negeri akan menjadi bukti kehadiran negara dalam menjamin hak-hak generasi muda yang sedang menimba ilmu di luar negeri," kata PhD Public Policy dari Charles University, Praha itu.
Anam menegaskan pelajar adalah aset bangsa, bukan hanya individu yang belajar di luar negeri. Negara wajib memastikan mereka selamat, terlindungi, dan tidak kehilangan hak studinya, apa pun situasi yang mereka hadapi.
“Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kita hanya akan menunggu kasus demi kasus terjadi. Dari perdagangan orang di Jerman, evakuasi Sudan dan Iran, sampai kematian tragis pelajar di Austria, semuanya adalah alarm keras bagi DPR untuk segera membahas RUU ini,” tegas dia.
Anam kembali menegaskan mahasiswa di luar negeri adalah aset bangsa yang harus dijaga demi mewujudkan Indonesia Emas 2045. Karena itu pemerintah, baik eksekutif dan legislatif, harus hadir untuk memberikan perlindungan bagi seluruh pelajar tanpa terkecuali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News