Namun, karena anak-anak kembali ribut, MS menghukum 16 siswa dengan memakan sampah plastik. Sejumlah siswa yang dihukum mengalami trauma dan enggan masuk ke sekolah karena takut.
Pada Februari 2022, beredar video seorang siswa SMPN di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, viral di media sosial. Siswa yang diketahui bernama IF,15, dihukum benturkan kepala ke tembok kelas oleh gurunya. IF merupakan siswa kelas IX, SMPN Satu Atap Nunkurus.
IF disuruh benturkan kepala 100 kali ke tembok oleh guru mata pelajaran pendidikan jasmani, berinisial KL. Selain itu, IF juga disuruh membersihkan WC dan saling cubit telinga dengan teman lain yang juga dihukum.
Alasannya, siswa tidak mengumpulkan kembali buku cetak. Kasus ini dilaporkan keluarga korban ke Kepolisian dan diproses hukum.
Lalu, Polres Pasuruan memeriksa 13 saksi terkait kasus dugaan penganiayaan dua pelajar salah satu SMP swasta berasrama, pada Maret 2022. Kelima saksi di antaranya pelajar terduga pelaku penganiayaan.
Pemeriksaan terhadap 13 saksi tersebut dilakukan setelah petugas menerima laporan adanya dugaan penganiayaan terhadap dua pelajar kelas 9 SMP Swasta, yakni DLH dan FG yang terjadi di asrama sekolah. Ironisnya, Kepala Asrama Sekolah AB mengaku pihaknya tidak mengetahui adanya kasus dugaan penganiayaan tersebut.
"Anak korban diduga kuat mengalami penganiayaan oleh seniornya hingga mengalami luka cukup parah di punggungnya. Terdapat luka memar bekas pukulan dan sulutan rokok," beber Retno.
MS merupakan piatu, ibunya sudah meninggal dunia. Sementara itu, ayahnya di penjara. Ms tinggal dengan tantenya.
Kemudia, siswa tak bisa ikut Ujian Sekolah karena tunggakan bayaran sekolah dialami sejumlah peserta didik. Misalnya, kasus di Kabupaten Bantul, Banyuwangi, dan Bekasi.
Sejumlah siswa SMP swasta di Bantul tidak bisa mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS) karena belum membayar tunggakan uang masuk sekolah. Tunggakan sudah dicicil, namun belum lunas.
Salah satu orang tua korban kemudian melaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY. ORI saat ini tengah menyelidiki persoalan tersebut karena menduga ada unsur pelanggaran dari sekolah terkait dengan pelayanan publik bidang pendidikan.
Sebab, tunggakan diumumkan di grup whatsApp dan ujian terpisah dengan anak lain yang sudah lunas. Hal ini menimbulkan rasa malu dan trauma pada anak-anak korban.
Sementara itu, dua siswa di salah satu SDN di Mojopanggung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, berinsial A dan H mengaku tidak mendapatkan nomor ujian lantaran belum bisa melunasi uang paguyuban di kelasnya sebesar Rp650.000. Saat ditanyakan kepada bendahara sekolah, orang tua mengaku tetap ditagih kewajiban membayar uang paguyuban.
Siswa tidak bisa mengikuti ujian akhir sekolah juga terjadi di Kabupaten Bekasi karena uang tunggakan sekolah berasrama yang mencapai Rp29 juta. Akhirnya, peserta didik diberikan kesempatan mengikuti ujian susulan setelah mediasi di KPAI.
"KPAI mendorong Pemerintah Daerah melalui Dinas-Dinas Pendidikan setempat untuk tegas memberikan kebijakan afirmasi kepada anak-anak yang selama ini kurang beruntung dalam pendidikan," kata Retno.
Misalnya, anak dari keluarga miskin, anak-anak difabel, korban kekerasan dan lainnya. Sehingga kasus larangan mengikuti ujian kenaikan kelas maupun ujian sekolah tidak akan terulang kembali.
KPAI juga mendorong Kemendikbudristek dan Dinas-Dinas Pendidikan kabupaten/kota/provinsi untuk bersama-sama menyosialisasikan ke sekolah-sekolah terkait Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Sekolah.
Retno menyebut pihaknya juga mendorong ada sosialisasi dan edukasi bagi pendidik untuk memahami psikologi perkembangan anak serta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Kovensi Hak.
Baca: Bully Adik Kelas, 3 Siswa SMP di Semarang Ditangkap
Cek Berita dan Artikel yang lain di
                    Google News
                
            Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id