Ilustrasi: MI/Arya Manggala
Ilustrasi: MI/Arya Manggala

Kemendikdasmen: Bukan Reinkarnasi UN, TKA Adalah Sebuah Jalan Tengah

Citra Larasati • 15 Juni 2025 17:59
Jakarta:  Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menaruh perhatian serius terhadap masih munculnya kekhawatiran terhadap kebijakan Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang untuk perdana akan digelar pada akhir 2025 khusus di jenjang SMA.  Optimalisasi penyerapan informasi tentang TKA ini pun terus dilakukan.
 
Kemendikdasmen menegaskan, kebijakan TKA Ini berangkat dari fakta bahwa pendidikan bermutu tidak cukup ditentukan oleh sebuah proses pembelajaran di ruang kelas. Namun juga kemampuan sebuah  sistem pendidikan dalam mengevaluasi dan menjamin kualitas capaian belajar peserta didiknya secara konsisten dan adil.
 
"Proses pembelajaran di ruang kelas adalah separuh cerita, separuh lainnya adalah soal bagaimana hasil belajar diukur dan dibandingkan secara konsisten," kata Kepala Badan Standar, Kurikukulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikdasmen, Toni Toharudin dalam keterangannya, dikutip Minggu, 15 Juni 2025.

Selaras dengan langkah yang tengah dilakukan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti, Toni sepakat, bahwa terobosan kebijakan baru ini perlu diperkenalkan lebih jauh kepada masyarakat.  Sebab sebagai kebijakan pendidikan yang bersentuhan langsung dengan peserta didik dan sekolah, sudah barang tentu menuntut kehati-hatian dalam sosialisasi maupun pelaksanaannya.

Bukan Sekadar Alat Ukur

Bahkan Toni menegaskan, berbagai kekhawatiran terkait sistem evaluasi baru capaian belajar yang timbul di masyarakat ini menjadi perhatian serius Kemendikdasmen. Namun secara tegas Toni berani menjamin, bahwa TKA bukan sekadar alat ukur biasa apalagi sebagai sebuah reinkarnasi sistem Ujian Nasional (UN) yang lekat dengan citra penentu tunggal kelulusan siswa.
 
Lebih dari itu, TKA menjadi bagian dari upaya Kemendikdasmen dalam membangun kepercayaan terhadap sistem evaluasi capaian belajar antarsekolah yang selama ini masih terasa timpang.  "Namun yang pasti, TKA bukan reinkranasi Ujian Nasional yang pernah jadi hakim tunggal kelulusan murid. Ia tak datang membawa palu, tak pula menggeser guru dari kursi penilai," tegas Toni.
 
Sebaliknya, TKA bersifat opsional.  Sebuah layanan yang disediakan pemerintah untuk mendukung guru, sekolah, dan lembaga pendidikan lainnya yang ingin memperoleh informasi tentang capaian belajar individu murid secara lebih terstandar.
 
"TKA pelengkap sekaligus penguat sistem penilaian yang sudah ada, bukan menggantikannya," tandasnya lagi.
 
Sebelumnya, dalam empat tahun terakhir, sistem pendidikan di Tanah Air berjalan dengan dua jenis evaluasi sekaligus.  Ada Asesmen Nasional (AN) yang mengambil fungsi memotret kinerja sistem secara makro, satunya lagi adalah penilaian harian oleh guru untuk mengevaluasi capaian belajar secara mikro.
 
Keduanya, kata Toni, berjalan berdampingan, masing-masing dengan fungsi dan ruangnya sendiri.  Dan TKA, sambungnya, tak hadir untuk menyingkirkan yang lama, melainkan melengkapi.
 
"Asesmen Nasional tetap dibutuhkan sebagai tolok ukur sistem tanpa membebani murid, sementara kedaulatan guru dalam menilai dan menentukan kelulusan tetap menjadi pijakan utama dalam praktik pendidikan di sekolah," ujar Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) ini.
 
Baca juga: Hasil TKA Jenjang SD, SMP, SMA Bisa Dipakai untuk SPMB dan Masuk Perguruan Tinggi

Penguatan Mutu Ujian Sekolah

Tidak hanya sekadar alat seleksi, kehadiran TKA ternyata juga menyimpan segudang fungsi lainnya.  Mulai dari penguatan mutu ujian sekolah, instrumen pengendali mutu, hingga pada intinya TKA merupakan sebuah jalan tengah antara penilaian sekolah yang kontekstual dan kebutuhan akan tolok ukur nasional yang objektif.
 
Hal ini berangkat dari fakta, di mana dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baik antarsekolah maupun ke perguruan tinggi, salah satu sistemnya masih mengandalkan nilai rapor sekolah.
 
Padahal, nilai rapor sekolah kerap kali tidak dapat dibandingkan secara adil antarsatuan pendidikan.  "Tidak adanya penilaian individu yang terstandar secara nasional membuat nilai 90 di satu sekolah bisa sangat berbeda maknanya dengan nilai serupa di sekolah lain.
 
Hal ini menimbulkan kesulitan bagi institusi pendidikan lanjutan, termasuk perguruan tinggi, dalam melakukan pemeringkatan dan seleksi secara objektif.
 
"TKA hadir menjawab tantangan tersebut. Dengan instrumen tes yang dikembangkan secara nasional, hasil TKA memberikan gambaran yang lebih terstandar tentang kemampuan akademik siswa," kata Toni.
 
Kemendikdasmen: Bukan Reinkarnasi UN, TKA Adalah Sebuah Jalan Tengah
Kepala Badan Standar, Kurikukulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikdasmen, Toni Toharudin
 
Ke depan, TKA akan menjadi referensi tambahan yang kredibel dalam proses seleksi berbasis prestasi akademik, baik untuk SPMB (Seleksi Penerimaan Murid Baru) maupun seleksi masuk perguruan tinggi.
 
Baca juga: Hasil TKA Jenjang SD, SMP, SMA Bisa Dipakai untuk SPMB dan Masuk Perguruan Tinggi

Harapannya, proses seleksi ke jenjang pendidikan berikutnya menjadi lebih adil dan akuntabel, tanpa bergantung sepenuhnya pada nilai rapor yang tidak seragam. Toni juga menegaskan, lebih dari sekadar alat seleksi, TKA juga berpotensi menjadi katalis penguatan kualitas ujian sekolah.
 
Pasalnya, TKA tidak menentukan kelulusan, maka guru dan sekolah tetap memiliki peran utama dalam menilai murid melalui ujian sekolah. Namun, kehadiran TKA yang hasilnya dapat dibandingkan antarindividu dan antarsekolah dapat menjadi cermin objektif bagi sekolah dalam mengevaluasi kualitas ujian dan pembelajarannya.

Instrumen Pengendali Mutu

Dalam konteks ini, kata Toni, sekolah yang memiliki integritas tinggi dalam pelaksanaan ujian sekolah akan cenderung memiliki korelasi hasil yang tinggi dengan capaian TKA muridnya. Sebaliknya, bila terdapat kesenjangan besar antara nilai ujian sekolah dan hasil TKA, hal ini bisa menjadi alarm bagi sekolah untuk meninjau kembali proses evaluasi dan pembelajarannya.
 
"Dengan kata lain, TKA dapat berfungsi sebagai instrumen pengendalian mutu yang mendorong perbaikan berkelanjutan di tingkat satuan pendidikan," jelasnya. 
 
Aspek positif lain dari kebijakan TKA adalah pendekatan kolaboratifnya. Pada tingkat SMA/K, seluruh soal akan disusun oleh Kementerian.  Namun, untuk jenjang SD dan SMP, pemerintah pusat akan berbagi dan berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam pengembangan soal.
 
Ini tak semata-mata soal teknis pembuatan soal ujian, namun juga sebagai ikhtiar meningkatkan kapasitas daerah dalam menyelenggarakan evaluasi pendidikan yang bermutu. Bagi Toni, kolaborasi ini juga penting sebagai bentuk ownership bersama atas suatu kebijakan.
 
Dalam era desentralisasi ini, peran pusat yang terlalu dominan dalam suatu program sering kali menimbulkan tantangan dalam implementasinya di daerah. "Ini karena pemerintah daerah merasa bukan program mereka," ujarnya.
 
Toni berharap, dengan melibatkan pemerintah daerah dalam penyusunan instrumen tes, diharapkan akan tumbuh rasa memiliki yang lebih kuat terhadap kebijakan ini. Pada saat yang sama, proses ini juga akan memperkaya perspektif pusat terhadap konteks lokal, sehingga instrumen TKA yang dihasilkan dapat lebih inklusif dan kontekstual.
 
"Kebijakan pun tidak lagi terasa seperti titah dari atas, tetapi menjadi karya bersama," tegasnya.

Menyikapi Kekhawatiran 

Meski telah disusun secara rapi dan dengan harapan baik, sebagai sebuah kebijakan tentu saja TKA tidak lepas dari kekhawatiran para pemangku kepentingan di bidang pendidikan.  Salah satunya soal potensi TKA menjadi beban tambahan bagi murid atau menjelma menjadi "Ujian Nasional" gaya baru.
 
Toni menilai, penjelasan bahwa TKA tidak bersifat wajib dan tidak menentukan kelulusan layaknya kebijakan UN di masa lalu perlu secara konsisten dikomunikasikan.  Ia kembali menegaskan, TKA adalah alat bantu yang justru memberi keuntungan kepada murid dan lembaga pendidikan.
 
"Untuk menghindari tekanan berlebih terhadap murid, integrasi hasil TKA dalam proses seleksi pun sebaiknya bersifat proporsional, menjadi salah satu komponen pertimbangan di antara komponen yang lainnya, termasuk rapor sekolah," ucapnya. 

Potensi Kesenjangan

Kekhawatiran lain adalah potensi kesenjangan. Murid dari sekolah-sekolah atau keluarga dengan sumber daya memadai akan lebih siap menghadapi TKA dibandingkan mereka yang kekurangan. Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk menyiapkan sistem dukungan yang memadai, termasuk penyediaan contoh soal yang dapat diakses secara bebas.
 
Dengan begitu, TKA benar-benar menjadi instrumen yang mendukung keadilan pendidikan, bukan memperlebar jurang ketimpangan.  "Kehadiran TKA menandai upaya serius pemerintah untuk menyempurnakan evaluasi capaian belajar individu yang selama ini terlalu beragam dan sulit dibandingkan," terangnya.
 
Di tengah kebutuhan akan sistem seleksi yang lebih adil dan berbasis data, TKA jusru menawarkan jalan tengah antara penilaian sekolah yang kontekstual dan kebutuhan akan tolok ukur nasional yang objektif.
 
"Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada dukungan semua pihak. Pemerintah perlu menjaga transparansi dalam pelaksanaan dan pelaporan hasil TKA," ujar Toni.
 
Menurut Toni, sekolah dan guru perlu melihat kebijakan ini sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas dan kapasitasnya, bukan sebagai ancaman. Masyarakat juga perlu memahami, standardisasi bukan berarti penyeragaman, melainkan upaya untuk memastikan setiap anak mendapatkan peluang yang adil untuk berkembang dan melanjutkan pendidikannya.
 
"Dengan semangat gotong royong dan komitmen pada mutu serta keadilan, TKA dapat menjadi batu pijakan penting menuju sistem pendidikan yang lebih berkualitas, inklusif, dan berpihak pada masa depan anak-anak Indonesia," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan