Ilustrasi belajar. Medcom.id/M Rizal
Ilustrasi belajar. Medcom.id/M Rizal

Sejarah Politik Etis, Balas Budi Belanda untuk Indonesia

Medcom • 23 Maret 2022 18:53
Jakarta: Politik seolah menjadi topik sensitif yang segan diperbincangkan. Bagaimana tidak, ini dapat memicu gejolak yang membuat kegaduhan di tengah masyarakat.
 
Namun, gejolak politik nyatanya tidak melulu merugikan. Misalnya saja, ketika Belanda dilanda gejolak politik pada awal abad ke-20 yang akhirnya menghasilkan secercah harapan bagi Indonesia.
 
Gejolak itu mulanya dipicu sindiran seorang warga Belanda terhadap negaranya yang memperlakukan bangsa jajahan seenaknya. Meski menuai pro dan kontra, sindiran itu berhasil membuat Belanda mencetuskan kebijakan untuk mensejahterakan Nusantara.

Kebijakan ini dinamakan politik etis alias politik balas budi. Namun, benarkah kebijakan tersebut betul-betul mensejahterakan Indonesia?
 
Untuk mengupasnya lebih lanjut, simak pembahasan mengenai serba-serbi politik etis yang dikutip dari Zenius berikut ini:

Latar belakang tercetusnya Politik Etis

Politik etis merupakan gagasan yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan masyarakat kolonial—dalam hal ini adalah bangsa Indonesia.
 
Kebijakan ini lahir dari rasa ‘tanggung jawab’ Belanda usai ribuan tahun memperoleh keuntungan dari tanah Hindia Belanda—nama Indonesia saat itu—sedangkan rakyat pribumi menderita kesengsaraan, salah satunya akibat tanam paksa.
 
Penderitaan ini semula tidak pernah digubris oleh petinggi Belanda di Indonesia. Padahal, tanam paksa telah merenggut nyawa yang jumlahnya tak terhitung lagi.
 
Pemerintah Belanda di negeri asalnya tidak tahu-menahu tentang persitiwa ini, sebab petinggi Belanda di Indonesia memiliki moto “what happens in East Indies, stays in East Indies.” Namun, lambat laun, kabar ini terdengar sampai ke telinga Ratu Wilhelmina I.
 
Alhasil, sang ratu memerintahkan bawahannya untuk membalas budi pribumi atas perjuangan dan penderitaan yang mereka alami. Meski sudah diperintah langsung oleh ratu, kebijakan ini tidak serta-merta diterima politisi Belanda.
 
Berbagai pro-kontra akibat konflik antara golongan humanis dan golongan liberal di parlemen Belanda, senantiasa menyelimuti kebijakan balas budi ini. Namun, pada 17 Desember 1901, Ratu Wilhelmina I tetap memberlakukan politik etis.
 

Tokoh pencetus Politik Etis

Walaupun politik etis ditetapkan langsung oleh Ratu Wilhelmina I, faktanya bukan dia yang mencetuskan kebijakan ini. Politik etis merupakan hasil pemikiran seorang pengacara sekaligus ahli hukum, Conrad Theodore van Deventer.
 
Deventer merupakan orang yang menyindir pemerintah Belanda, sebagaimana dijelaskan di awal pembahasan. Melalui tulisan berjudul “Een Eereschuld” atau “Utang Kehormatan” yang dipublikasikan di koran De Gids pada 1899, dia melayangkan tamparan keras untuk Belanda.
 
Deventer mengkritisi sikap Belanda yang ribuan tahun menghisap kekayaan Hindia Belanda, tanpa menghiraukan kesejahteraan warga pribumi. Sebelum sampai ke parlemen, tulisan tersebut sempat menimbulkan kericuhan di tengah kalangan masyarakat Belanda.
 
Hal ini mungkin akan membuat Sobat Medcom bertanya-tanya, siapa sebenarnya sosok Deventer ini? Mengapa tulisannya bisa sangat berpengaruh di pemerintahan Belanda kala itu?
 
Rupanya, Van Deventer merupakan politikus yang tergabung dengan partai liberal demokrat pada 1897. Dia menjadi anggota parlemen Belanda selama dua periode, yakni pada 1905 sampai 1909, kemudian dilanjutkan pada 1913 hingga kematiannya pada 1915.
 
Bukan cuma Deventer, masih ada sosok lain yang berjasa dalam tercetusnya politik etis. Tokoh tersebut adalah Pieter Brooshoft, wartawan Belanda menghabiskan hidupnya mengelilingi Indonesia untuk melihat sendiri ketidaksejahteraan yang dialami pribumi.
 
Melalui buku berjudul “Memorie over den toestand in indie” (Catatan tentang keadaan di Hindia), Brooshooft menggugat parlemen Belanda hingga mendorong adanya keadilan kepada rakyat Hindia-Belanda.
 

Isi Politik Etis

Terlepas dari pro-kontra yang membayanginya, politik etis berhasil diterapkan di Indonesia. Selain sebagai balas budi, alasan lain terwujudnya kebijakan tersebut ialah adanya kewajiban meningkatkan kedudukan hukum masyarakat adat umat Kristen di Hindia Belanda.
 
Di samping mendukung misi Kristenisasi ditanamkan di seluruh wilayah jajahan Belanda, politik etis memuat tiga program. Kebijakan yang juga disebut Trias Etika itu meliputi edukasi, irigasi, dan transmigrasi.

Edukasi

Edukasi merupakan program politik etis yang memberikan akses terhadap pendidikan oleh masyarakat bumiputera. Dengan adanya akses pendidikan, diharapkan ke depan akan lahir kesetaraan atau emansipasi.
 
Terdengar mulia, bukan? Namun, faktanya kebijakan ini dibuat untuk ‘mengeksploitasi’ otak rakyat Indonesia. Bukan untuk mendidik rakyat, melainkan untuk mendapat pekerja terdidik guna memenuhi kebutuhan pegawai rendahan bergaji kecil.
 
Program ini juga tidak bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat, tetapi hanya kalangan pribumi berada. Contohnya, Sekolah Kelas Satu (ongko siji) yang merupakan sekolah khusus anak-anak priyayi. Sekolah ini memberikan pelajaran bahasa Belanda dengan waktu belajar 6 tahun.
 
Sedangkan, anak-anak biasa mengenyam pendidikan di Sekolah Kelas Dua (ongko loro). Sekolah ini hanya mengajarkan materi dasar menulis, membaca, dan berhitung, tanpa memberikan pelajaran bahasa Belanda.
 
Program edukasi kian runyam usai pemerintah Belanda berupaya melakukan weternisasi lewat pendidikan. Kala itu, kebijakan ini ditolak mentah-mentah karena dianggap tidak sejalan dengan adat istiadat Indonesia.
 
Hingga akhirnya, pada dekade pertama abad ke-20, politik etis di bidang pendidikan melahirkan kaum terpelajar perintis putra bumi. Mereka mulai menyadari kebanggaan dan kehormatan bangsanya.

Irigasi

Keberadaan pengairan yang baik sangatlah vital bagi pertanian dan perkebunan. Tanpa pengairan yang baik, keberlangsungan perkebunan dapat terancam.
 
Sebagai bentuk balas budi, dicetuskanlah ide irigasi untuk membantu mengurus perkebunan. Lagi-lagi, fakta di lapangan tak seindah yang diharapkan. Program irigasi akhirnya justru mengairi perkebunan tuan Belanda, bukan milik rakyat Indonesia.
 

Transmigrasi

Pulau Jawa saat itu dianggap sudah terlalu padat, sehingga tercetuslah ide untuk mengadakan transmigrasi. Ini ditujukan untuk memindahkan orang-orang dari Jawa ke daerah lain yang masih sepi penduduk. Dengan begitu, diharapkan masyarakat dapat memperoleh pekerjaan yang layak.
 
Sayangnya, ide tersebut tinggal sebuah angan-angan. Program transmigrasi malah dimanfaatkan oleh pemilik perkebunan untuk mendatangkan buruh murah dari pulau Jawa.

Dampak Politik Etis bagi Indonesia

Dari penjabaran di atas, diketahui bahwa ide-ide Van Deventer tidak terealisasi dengan baik. Politik balas budi yang semula ditujukan mensejahterakan, justru malah mencekik rakyat Indonesia.
 
Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa politik etis tetap membawa sejumlah kemajuan bagi Tanah Air. Salah satunya, dibangun infrastruktur yang hingga saat ini masih dirasakan manfaatnya.
 
Beberapa infrastruktur yang dibangun adalah bendungan dan rel kereta api. Rel kereta yang biasa dilalui sekarang merupakan warisan dari politik etis. Begitu juga dengan bendungan yang sampai saat ini masih digunakan sebagai tempat penampungan air.
 
Selain itu, politik etis juga melahirkan modernisasi masyarakat perkotaan. Berkat adanya akulturasi, rakyat Indonesia mulai gemar berpakaian seperti orang Eropa dan suka berpesta.
 
Tak kalah penting, politik etis melahirkan golongan terpelajar yang akhirnya memulai pergerakan nasional. Golongan ini berani melawan balik kebijakan Belanda, sehingga bisa dibilang politik etis menjadi boomerang bagi kolonial. (Nurisma Rahmatika)
 
Baca: Sejarah Kerajaan Mataram Kuno, Cikal Bakal Berdirinya Candi Borobudur
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan