"Bisa jadi ini merupakan fenomena gunung es," kata Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam keterangannya, Selasa, 28 Desember 2021.
Pada penghujung 2021, publik dibuat geram dengan kasus pemerkosaan terhadap puluhan satriwati di Madani Boarding School, Bandung. Ironisnya, pelaku merupakan seorang pendidik sekaligus pendiri, beberapa santriwati yang menjadi korban bahkan ada yang hamil hingga melahirkan.
KPAI mencatat setidaknya ada 18 kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan. Pengumpulan data dilakukan mulai 2 Januari-27 Desember 2021 melalui pemantauan kasus yang dilaporkan keluarga korban ke pihak kepolisan dan diberitakan media massa.
Selama 2021, ada tiga bulan tidak muncul kasus kekerasan seksual di media massa ataupun yang di laporkan kepolisian, yaitu pada Januari, Juli dan Agustus. Sedangkan, sembilan bulan lainnya muncul kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan yang dilaporkan ke kepolisian dan diberitakan di media massa.
Baca: Kaleidoskop Pendidikan 2021: Diklat Menwa Renggut Nyawa Hingga Kekerasan di SMK Penerbangan
"Dari 18 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, 4 atau 22,22 persen dari total kasus terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kemendikbudristek, dan 14 atau 77,78 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama," papar Retno.
Kemudian, lokasi kejadian kekerasan seksual meliputi 17 kabupaten/kota pada sembilan provinsi. Yaitu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Sumatra Barat, Sumatra Utara. Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua. Sedangkan, kabupaten/kota meliputi Cianjur, Depok, Bandung, dan Tasikmalaya (Jawa Barat).
Kemudian, Sidoarjo. Jombang, Trengalek, Mojokerto dan Malang (Jawa Timur); Cilacap dan Sragen (Jawa Tengah); Kulonprogo (D.I Yogjakarta); Solok (Sumatera Barat); Ogan Ilir (Sumatera Selatan); Timika (Papua); dan Pinrang (Sulawesi Selatan).
Mayoritas kasus kekerasan seksual terjadi di satuan pendidikan berasrama atau boarding school. Sebanyak 12 satuan pendidikan (66,66 persen) dan terjadi kekerasan seksual di satuan pendidikan yang tidak berasrama hanya di enam satuan pendidikan (33,34 persen).
"Kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek pun, dua di antaranya adalah sekolah berasrama, yaitu di kota Medan dan di Batu, Kota Malang," jelasnya.
Pelaku kekerasan seksual terdiri dari pendidik/guru sebanyak 10 orang (55.55 persen); kepala sekolah/pimpinan pondok pesantren sebanyak empat orang (22,22 persen); pengasuh (11,11 persen); tokoh agama (5.56 persen) dan pembina asrama (5.56 persen).
Total jumlah pelaku ada 19 orang, meskipun total kasusnya 18, karena untuk Ponpes di Ogan Ilir ada dua pelaku, keduanya merupakan guru. Seluruh pelaku adalah laki-laki. Namun, untuk korban, ada anak laki-laki maupun anak perempuan.
Total jumlah anak yang menjadi korban adalah 207 orang. Rinciannya, 126 anak perempuan dan 71 anak laki-laki. Usia korban rentang 3 – 17 tahun, dengan rincian : usia PAUD/TK 4 persen, usia SD/MI 32 persen; usia SMP/MTs 36 persen, dan usia SMA/MA 28 persen.
Modus Pelaku
Modus pelaku sangat beragam. Ada yangh mengiming-imingi korban mendapat nilai tinggi, jadi Polwan, bermain game online di tablet pelaku, pelaku minta dipijat korban lalu korban di raba-raba bagia intimnya saat memijat.Ada juga pelaku yang meminta korban menyapu gudang namun kemudian dicabuli di dalam gudang. Lalu, mengancam memukul korban jika menolak. Parahnya, ada yang mengeluarkan dalil-dalil agar menurut pada guru, dan dalih terapi alat vital yang bengkok.
Rekomendasi
KPAI mendorong Kementerian Agama memiliki Peraturan Menteri (seperti Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan yang memastikan adanya sistem pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan, termasuk kekerasan seksual.Kemudian, KPAI juga mendorong Kemendikbudristek dan Kementerian Agama untuk membangun sistem perlindungan terhadap peserta didik selama berada di lingkungan satuan pendidikan dengan sistem berlapis. Terutama, pada satuan pendidikan berasrama atau boarding school.
"Peraturan Menteri harus disertai penanganan dan penindakan kepada para pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan," ungkap Retno.

Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti. Foto: Zoom
Selanjutnya, KPAI mendorong Kemendikbudristek mensosialisasikan secara masif Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 kepada dinas pendidikan di seluruh kabupaten/kota dan provinsi, serta sekolah-sekolah. Sebab, kata dia, masih cukup banyak sekolah yang belum tahu Permendikbud tersebut.
KPAI juga mendorong dinas pendidikan dan Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota dan provinsi, melakukan pembinaan dan pengawasan secara berkala terhadap sekolah, madrasah, atau pondok pesantren. Selain itu, portal-portal pengaduan kekerasan di satuan pendidikan harus banyak dan mudah diakses korban dan saksi.
Berikutnya, KPAI mendorong satuan pendidikan berani mengakui dan mengumumkan adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan disertai permintaan maaf. Jangan malah ditutupi dengan menganggap sebagai aib.
"Tetapi wajib melaporkan kepada pihak kepolisian agar pelaku di proses hukum sehingga ada efek jera dan tidak ada korban lagi di satuan pendidikan tersebut," tegasnya.
KPAI pun mendorong para orang tua yang menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan berasrama atau boarding school wajib memastikan keamanan lingkungan satuan pendidikan untuk anak-anaknya. Pastikan rekam jejak satuan pendidikan yang dituju, lakukan survei secara mendetail di lokasi anak-anak anda akan tinggal untuk menuntut ilmu.
Baca: Perjalanan Kurikulum Pendidikan di Indonesia Sejak Merdeka
Pastikan pula ada standar operasional prosedur (SOP) pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Lalu, pastikan ada sistem pengawasan yang baik dari instansi yang berwenang dan tersedia portal pengaduan yang tidak tunggal.
"Dan pastikan Anda sebagai orang tua dapat berkomunikasi dengan anak anda secara berkala, minimal komunikasi melalui telepon seluler untuk video call dengan anak Anda," ujarnya.
Terakhir, KPAI mendorong media cetak, eletronik dan online untuk melindungi dan menjaga kerahasiaan identitas anak-anak korban, saksi maupun pelaku anak dalam pemberitaan. Terutama, anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).
"Apalagi anak-anak korban kekerasan seksual, sebagaimana sudah diatur dalam pasal 19 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News