Di sisi lain, demografi penduduk, masalah malnutrisi dan penyakit tidak menular (komorbid) di masyarakat juga turut memengaruhi tingkat risiko penularan maupun keparahan akibat zoonosis itu sendiri. “Populasi penduduk muda dengan mobilitas tingg dan juga populasi lansia yang rentan akan memengaruhi variasi imun dan laju penularan penyakit, ditambah masalah malnutrisi pada anak-anak dan juga komorbid, membuat risiko penularan dan beban penyakit infeksius di Indonesia berpotensi cukup tinggi,” tutur Pandji.
Risiko zoonosis juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi masyarakat, seperti perilaku hidup bersih dan sehat dan kemiskinan atau ketidakmerataan ekonomi. Selain itu, juga ditentukan oleh ketangguhan sistem kesehatan dalam mendeteksi, merespons, dan mengendalikan penyakit.
Riset, monitoring, hingga pemetaan zoonosis di Indonesia
Penelitian terkait zoonosis terus berkembang. Saat ini, Pandji dan tim yang terlibat dalam Kelompok Riset Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis sedang melakukan kajian sistematik mengenai kaitan perubahan iklim dengan penyakit tular vektor dan zoonosis di Indonesia.Mengingat, Indonesia merupakan salah satu negara yang risiko penularannya cukup tinggi. Selain itu, juga dilakukan studi-studi lanjutan bersama Kementerian Kesehatan dan universitas terkait malaria zoonotik, leptospirosis, dan Japanese encephalitis.
Budaya setempat yang masih menjual bebas satwa liar baik untuk dikonsumsi ataupun untuk hewan peliharaan juga dapat menjadi jalur penularan zoonosis. Sugiyono saat ini menjadi ketua peneliti untuk surveilans potensi penyakit zoonosis potensial dan penyakit menular di Indonesia, terutama yang berasal dari satwa liar yang diperdagangkan.
“Project ini berkolaborasi dengan Australian Centre for Disease Preparedness (ACDP)-CSIRO, Australia. Jadi kita memonitor virus yang berpotensi menimbulkan pandemi di masa yang akan datang, terutama dari virus yang berasal dari kelelawar, tikus, burung, dan beberapa hewan lain,” jelas Sugiyono.
Sugiyono dan tim melakukan survei di beberapa pasar hewan yang memperdagangkan satwa liar, antara lain di daerah Sulawesi dan Jawa. Adanya percampuran spesies, baik yang membawa patogen berbahaya atau tidak, interaksi antar hewan dan manusia serta lingkungan di pasar tersebut, menurut Sugiyono, akan menjadi titik risiko tinggi terjadinya spillover atau transmisi patogen dari hewan ke manusia.
“Dari kegiatan ini, nanti kita bisa karakterisasi ada patogen apa di sana (pasar), apakah ada virus Corona, Nipah, influenza, dan sebagainya. Karena kita tidak pernah tahu kapan akan terjadi spillover tersebut, makanya harus terus kita pantau,” jelas Sugiyono.