Sebagian besar warga yang pindah memiliki rentang usia produktif, yakni 25-35 tahun. Laporan peringkat human flights and brain index tahun 2024 yang dikeluarkan oleh The Global Economy, Indonesia saat ini berada pada peringkat ke-88 dari 175 negara.
Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna, menyebut fenomena brain drain di Indonesia sudah terjadi sejak lama. Contohnya, pada tahun 1960-an banyak mahasiswa Indonesia berkuliah di luar negeri dan tidak kembali ke Indonesia. Mereka lebih memilih bekerja di luar negeri.
“Adanya fenomena ini terus terjadi saat ini di mana banyak tenaga-tenaga terampil dan profesional Indonesia yang memilih berkarier di luar negeri daripada di Indonesia,” kata Hempri dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis, 23 Januari 2025.
Hempri mengatakan ribuan WNI yang memilih pindah ke Singapura selama tiga tahun berturut-turut menegaskan Indonesia terancam kehilangan SDM berkualitas dan memiliki potensi. Selain itu, kondisi tersebut menunjukkan Singapura menjadi tempat yang lebih nyaman untuk karier.
"Bisa dikatakan Singapura dianggap lebih baik sebagai tempat untuk berkarir dan mendapatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan,” ujar dia.
Baca juga: Kenapa Orang Indonesia Sulit Dapat Kerja? Ini Faktornya |
Dia juga menanggapi banyaknya SDM usia produktif yang memilih pindah kewarganegaraan. Dia sangat menyayangkan hal tersebut sebab usia produktif sebenarnya masih sangat dibutuhkan untuk mendorong pembangunan di Indonesia.
“Selama ini anak-anak muda ini punya kemampuan potensial, kreativitas, dan inovasi yang lebih unggul. Hal ini tentunya sangat disayangkan ketika mereka harus pergi ke luar negeri. Indonesia tidak hanya kekurangan tenaga-tenaga terampil, tetapi ini dapat mengakibatkan munculnya ketimpangan ekonomi antar negara maupun lambatnya akselerasi pembangunan di Indonesia,” ujar dia.
Hempri menuturkan konsep link and match menjadi solusi meminimalisir fenomena brain drain. Apalagi, program ini sebenarnya sudah lama dikembangkan termasuk yang terakhir di era Menteri Nadiem Makarim kemarin dengan program Kampus Merdeka melalui beberapa program seperti magang, wirausaha, pertukaran mahasiswa, dan sebagainya.
Model-model semacam ini sebenarnya cukup menarik agar di satu sisi mahasiswa juga siap masuk ke pasar kerja ketika sudah lulus. Namun, memang banyak juga kendala di lapangan.
“Misalnya soal pendampingan pasca kegiatan dan sebagian mahasiswa mengikuti program-program tersebut yang seringkali lebih berorientasi pada mendapatkan nilai sehingga hal-hal yang dipelajari selama pelaksanaan kegiatan kurang berkembang dengan optimal,” ujar dia.
Hempri mendesak pemerintah segera membuat grand design pembangunan kependudukan menjadi semacam blue print di dalam penyusunan peta kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian yang dimiliki lulusan dari perguruan tinggi.
“Harapannya dengan adanya link and match antara pendidikan dengan pasar kerja diharapkan akan mampu meminimalkan anak-anak muda terampil untuk bekerja di luar negeri,” jelas dia.
Namun, peta kebutuhan ini tidak akan cukup mengingat situasi pasar kerja dinamis. Bahkan, selama proses rekrutmen tenaga kerja hanya mengandalkan sistem kekerabatan atau kekeluargaan ataupun lebih dikenal dengan istilah Ordal (orang dalam) maka program tersebut akan sia-sia belaka.
“Kita lihat kondisi ini yang seringkali masih dominan di kita sehingga orang yang memiliki kompetensi baik belum tentu diterima di pasar kerja,” tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id