Itu pula yang menjadi dambaan Wahyu Suri Yani, lulusan S2 Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Semula, ia sudah merencanakan sejak jauh-jauh hari akan memboyong keluarga besarnya ke Yogyakarta untuk menghadiri wisuda di Kampus UGM.
“Apa daya wabah Covid-19 mengubah semua. Wisuda tidak bisa di Graha Sabha UGM, tapi di rumah sendiri didampingi mama dan papa," kata Suri mengutip rilis UGM, Kamis, 12 November 2020.
Tepat pada tanggal 21 Oktober 2020 dari rumahnya di Air Dingin, Jorong Koto Baru, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, ia pun mengikuti wisuda Program Pascasarjana UGM secara virtual. Meski di rumah, ia pun menyiapkan tiga jubah baju wisuda.
Ia membuat simulasi wisuda dengan menempatkan sang ayah sebagai rektor UGM dan ibunda sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Di pagi itu, ia sudah mempersiapkan laptop pada posisi siaga menunggu konfirmasi aplikasi Zoom dibuka.
“Deg-degan kedap-kedip, listrik sudah memberikan tanda alamat sinyal akan off hari ini. Dan benar saja, jam 07.46 WIB satu menit menjelang wisuda dimulai, sinyal hilang total, alamat wisuda tidak bisa di rumah," ucapnya.
Sebagai solusi, ia pun dengan segera bersiap menuju ke bukit yang terletak di depan rumah. Sebuah bukit tertinggi di dekat ladang kopi milik ayahandanya, yaitu Bukit Lurah Dalam.
Meski tahu sudah terlambat, adik bungsu Suri, Aulia Rahman ikut membantu menyiapkan motornya lengkap dengan sepatu boots untuk ke ladang. Tak lupa ia mengingatkan, untuk mempersiapkan minum dan payung.
Rahman adalah mahasiswa Universitas Maritim Ali Haji Kepulauan Riau. Ia pun sudah terbiasa nge-Zoom dari atas bukit untuk kuliah.
Baca juga: Sukses Jadi Mendikbud, Muhadjir Effendy Raih Bintang Mahaputra Adipradana
“Uni (panggilan untuk kaka perempuan) pegang Rahman erat-erat ya. Begitu ucap Rahman saat saya akan membonceng, sudah lebih dari satu tahun enggak ke ladang ternyata medan yang harus dilewati semakin parah, sempit, berlumpur dan terjal. Kalau tidak karena sudah siap-siap mau wisuda, saya tidak akan sampai mendaki bukit. Apalagi jalannya sungguh terlalu," gerutu Suri dalam ceritanya.
Saat mendaki bukit bersama Rahman, kata Suri, beberapa kali hampir jatuh. Ketika menemui jalan yang sangat parah, ia pun minta turun karena takut jatuh.
“Biasanya kalau sudah motoran banyak cerita, tapi saat itu aku diam senyap karena betapa khawatirnya kalau jatuh. Apalagi mataku sudah mulai bengkak, dan tiba-tiba flu enggak jelas," ucap Suri.
Koto Baru adalah daerah pegunungan dengan ketinggian 1.400-1.800 meter. Pemukiman penduduk dikelilingi bukit-bukit dengan suhu yang dingin sekali di pagi hari 13 derajat celcius dan di siang hari agak menghangat mencapai 25 derajat celcius. Dengan kondisi alam perbukitan dan subur, daerah ini sangat cocok menjadi daerah pertanian.
Setelah berliku-liku dari rumah, sekitar jam 08.30 perjalanan dengan motor pun pada akhirnya sampai di perbukitan Lurah. Segera ia membuka laptop dan mengakses Zoom wisuda UGM periode Oktober 2020.
Perasaan Suri pun mulai tidak enak. Ketika ia melihat dari layar laptop para wisudawan sudah riuh dan setelah bertanya pada teman satu kelasnya ternyata wisuda sudah selesai.
“Kebetulan dua orang sepupu saya juga sedang mengikuti kuliah secara daring dari atas bukit mencoba memastikan. Keduanya bertanya bagaimana wisudanya etek? Saya pun menjawab sudah selesai. Dua sepupu saya Selvi dan Risti tertawa lepas, dan saya pun ikut tertawa. Kedua sepupu Suri pun kemudian meledek, Etek kuliah di UGM, penelitian di Belanda, wisuda di bukit kampuang awak," kata Suri sambil tertawa menirukan ucapan sepupunya.
Suri mengaku sedikit kecewa dan sedih. Tapi itu hanya sekejap, ia segera tersadar bahwa baginya wisuda hanyalah seremonial. Ia tetap meyakini yang terpenting adalah proses mencapainya, dan bagaimana ia bisa melihat keterlibatan berbagai pihak terlebih orang tuanya yang menjadi saksi hidup dalam mencapai gelar S2nya.
“Saya pun yang awalnya hanya fokus ke zoom yang masih heboh oleh para wisudawan, akhirnya beralih pandang ke hamparan bukit yang indah. Saya sepertinya diingatkan kembali, pentingnya keberadaan bukit Lurah Dalam ini dalam men-support pendidikan saya," paparnya.
Menurutnya, Bukit Lurah Dalam adalah bukit yang indah. Bukit ini telah menjadi investasi besar dalam melahirkan para sarjana dari berbagai kampus di Indonesia, baik mereka yang kuliah di Pulau Jawa, Kalimantan hingga Aceh.
“Di daerah Saya sering mati lampu, kalau lampu mati maka sinyal akan mati, dan satu-satunya kartu seluler yang bisa untuk internetan hanya Telkomsel, dan itu tidak di semua tempat. Tanda-tanda lampu akan mati biasanya karena hujan, angin kencang yang mengakibatkan pohon tumbang dan mengganggu kabel listrik," terangnya.
Wahyu Suri Yani, lulus S2 Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, setelah berhasil menulis tesis tentang sejarah kesehatan yang sesuai dengan kondisi wabah Covid-19 saat ini. Ia menulis tesis berjudul “Wabah Beri-Beri dI Kalangan Militer Kolonial Belanda Pada Masa Perang di Aceh tahun 1873-1917” dengan bimbingan DR. Agus Suwignyo, MA.
Dalam menulis tesis ini, Suri banyak menggunakan arsip kolonial yang diakses dari ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), PNRI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) dan berkesempatan melengkapi data di Universitas Leiden, Belanda.
“Penelitian di Leiden atas biaya dari program Dana Hibah Penyelesaikan Tesis di Luar Negeri dan untuk jurusan Sejarah ditujukan di ke Leiden University di Belanda. Di Belanda Saya mendapatkan data lengkap terkait penelitian Saya tentang wabah beri-beri dan berbagai arsip lainnya lembaga arsip Belanda “Nationaal Archive” di Den Haag," katanya.
Ia berharap setelah lulus hasil penelitiannya tentang menghadapi wabah zaman kolonial bisa dimanfaatkan dan dibaca serta digunakan oleh banyak pihak. Ia pun berharap ada penerbit yang tertarik dan mau meminang tesisnya ini untuk diterbitkan dan dijadikan sebuah buku.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id