Guru dipaksa pontang-panting merancang metode pembelajaran daring. Konsep yang sebetulnya tak pas dilakukan di tengah ketimpangan infrastruktur pendidikan maupun kapasitas guru di Indonesia. Tapi bagaimana, aspek kesehatan memang diputuskan jadi 'mazhab' utama di tengah wabah korona.
Betul saja, metode pembelajaran daring tak bisa dilakukan seutuhnya. Kondisi jaringan internet dan ketersediaan perangkat yang belum merata, membuat sebagian guru harus berpikir keras memastikan hak dasar anak didiknya untuk mendapatkan pendidikan tetap terpenuhi.
Guru kunjung, jadi istilah yang mulai populer bagi warga pendidikan yang kurang beruntung dalam hal ketersediaan infrastruktur. Metode ini dilakukan para guru yang berada di wilayah yang 'hampir tak terjamah' para pemangku kepentingan.
Ridwan Syarif, misalnya. Guru di SMP 3 Pandeglang, Banten ini harus menyambangi muridnya secara bergantian di kediaman masing-masing. Mengunakan sepeda motor, Idan, sapaannya, kerap tersesat saat mengunjungi rumah siswa. Metode ini terpaksa dilakukan Idan karena banyak anak didiknya yang tak mampu mengikuti pembelajaran daring.
"Kalau tidak kita datang, sulit untuk kita menilai sosial mereka seperti apa, karakter mereka seperti apa. Guru kan tidak hanya mengajar tapi juga mendidik, itu yang menjadi tantangan," ucap Idan kepada Medcom.id.
Aktivitas ini juga dilakukan Wilfridus Kado (Frid), salah seorang guru SMK 7 Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak Juni 2020. Banyak siswa di sekolah Frid tak punya gawai. Frid dan guru lainnya pun terpaksa mendatangi langsung mereka yang tak bisa belajar daring, satu demi satu.

Wilfridus Kado, salah seorang guru SMK 7 Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan guru kunjung. Foto: Dok Pribadi
Medan tempuh yang sulit cukup jadi penghambat, namun bukan penghalang bagi Frid. Maklum, kediaman para murid yang harus ia datangi saling berjauhan. Ia bilang, tujuan kunjungan ini sederhana, sekadar ingin melihat karakter dan kendala murid sesuai tuntutan kurikulum.
Niat hati bertemu anak didik, namun Frid lebih sering bertemu orang tuanya. Belajar di rumah ternyata lebih dimanfaatkan beberapa siswa di wilayah itu untuk membantu orang tua mereka mencari nafkah dengan bekerja di kebun.
"Terpaksa, tugas dan modul kita berikan, kita titipan, ke orang tua," keluh Frid.
.jpeg)
Fajar Selawati, Guru SMAN 77 Jakarta. Foto: Medcom/Ilham Pratama Putra.
Guru yang melakukan pembelajaran daring juga bukan berarti 'tak berkeringat'. Mereka harus putar otak merancang pembelajaran daring yang efektif. Ingat, tak semua guru datang dari kalangan milenial yang merupakan 'penghuni asli' era teknologi. Bisa dibayangkan, peliknya menyusun cara mengajar yang tepat untuk para anak didik di tengah keterbatasan waktu dan kebiasaan itu.
"Semua belajar keras menggunakan teknologi pembelajaran yang mau tidak mau akan kami gunakan sepanjang PJJ," terang Fajar Selawati, Guru SMAN 77 Jakarta.
PJJ daring juga bukan berarti membuat waktu para guru lebih leluasa. Belajar daring justru membuat jam kerja guru menjadi tak tentu waktu.
"Kami bekerja tidak delapan jam lagi mungkin, tapi 24 jam dalam hal mencapai tujuan pembelajaran," ungkap Guru SMA Swasta Handayani Pekanbaru, Mila Faldiah Nur dalam sebuah diskusi.

Mila Faldiah Nur, guru SMA swasta Handayani Pekanbaru. Tangkapan layar.
Ini mungkin hanya secuil kisah para guru yang berjuang keras tetap memberikan pendidikan di masa sulit pandemi. Sudah barang tentu, banyak lagi guru di luar sana yang mungkin punya cerita lebih pelik.
Di momen Hari Guru Nasional 2020, rasanya patutlah kita sejenak menundukkan kepala dan merenungkan perjuangan mereka para pendidik. Setelahnya, mari kita bersama setulus hati mengucapkan; Terima Kasih Guru!.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News