Jakarta: Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan Ahmad Nurhadi turut menyoroti soal gugatan
batas usia capres dan cawapres yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Ia pun mempertanyakan independensi lembaga tersebut karena banyak putusan yang dinilai melewati batas MK.
Nurhadi pun menuturkan independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar utama dalam negara hukum dan demokrasi.Di Indonesia ada tiga lembaga baik eksekutif, legislatif maupun kehakiman (yudikatif) yang saling mengawasi satu sama lain sebagai bentuk dari implementasi konsep
check and balances.
"Peran vital kekuasaan kehakiman adalah melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap jalannya pemerintahan dalam hal ini baik lembaga legislatif maupun eksekutif," ujar dia kepada wartawan, Jumat, 13 Oktober 2023.
Kemudian Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi (
guardian of constitution) yang memastikan bahwa setiap produk hukum atau Undang-Undang yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR RI tidak bertentangan dengan konstitusi negara yaitu UUD 1945.
Dengan kemandiriannya, Nurhadi mengatakan, Mahkamah Konstitusi selayaknya berperan menjadi lembaga yang membawa amanat publik untuk mengoreksi apabila terdapat undang-undang bermasalah.
"Apabila kondisi yang ideal tersebut terselenggara, pemerintah dan lembaga legislatif akan berhati-hati dalam perumusan dan implementasi undang-undang karena terdapat kekuasaan yang mandiri yang dapat mengoreksinya apabila melenceng," kata dia.
Akan tetapi, dalam perjalanannya berbagai keputusan Mahkamah Konstitusi cenderung melewati batas kewenangan. Setidaknya terdapat beberapa putusan kontroversial yang sudah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pertama, ia menyebut, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas
judicial review UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sangat mengecewakan pemohon dan juga publik.
"Alih-alih memperkuat KPK secara kelembagaan, melalui putusan No.112/PUU- XX/2022, MK malah memperpanjang masa jabatan pimpinan dari empat tahun menjadi lima tahun," ujar Nurhadi.
Kemudian MK juga menolak terhadap enam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
Lalu menolak lima perkara yang menggugat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
"Dengan alasan dalil-dalil permohonan tidak beralasan menurut hukum hingga kegentingan mendesak yang menjadi dasar pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja," kata dia.
Untuk itu, dia pun mempertanyakan kembali soal independensi lembaga yang diketuai Anwar Usman tersebut.
"Pembahasan utama kali ini, perlu mempertanyakan kembali terkait dengan
stance dan independensi Mahkamah Konstitusi dari bentuk rongrongan politik penguasa," kata dia.
MK dijadwalkan melakukan pembacaan putusan pengujian Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait syarat usia minimal 40 tahun sebagai calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) terhadap perkara No. 29/PUU-XXI/2023, perkara No. 51/PUU-XXI/2023, dan perkara No.55/PUU-XXI/2023 pada Senin, 16 Oktober 2023.
"Dalam pandangan kami jelas bahwa perkara itu sangat erat kaitan dengan kepentingan politik menuju perhelatan Pemilu 2024. Selain itu bahwa klausul utama dalam perkara ini adalah terkait dengan adanya diskriminasi berdasarkan umur atau dikenal dengan '
ageism'," kata Nurhadi.
Dia pun berpandangan bahwa persoalan terkait dengan batasan umur pencalonan presiden dan wakil presiden bukanlah isu konstitusional yang harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
"Kewenangan terkait dengan batas usia ini merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang yaitu DPR RI sehingga jika merujuk pada mekanisme hukum yang berlaku persoalan tersebut dapat diselesaikan melalui sistem
legislative review," kata dia.
Untuk itu, BEM SI Kerakyatan berharap agar Mahkamah Konstitusi menolak dengan tegas pengajuan
judicial review jika memang secara kewenangan isu atau persoalan yang diajukan tidak berkaitan dengan konstitusi.
"Melainkan dapat diselesaikan melalui putusan hukum terbuka atau
open legal policy yang dapat dilimpahkan kepada pembentuk Undang-Undang yaitu DPR RI," ungkap dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((END))