Jakarta: Sejak musim Pemilu 2019 kasus dugaan makar makin banyak. Kasus ini bertambah setelah salah satu pasangan yang didukung kalah.
Pengamat Poltik dari Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan momen inilah yang dimanfaatkan orang-orang tak bertanggung jawab. Mereka berupaya mendelegitimasi semua penyelenggara pemilu.
"Orang yang mencoba mendelegitimasi semua pranata penyelenggara pesta demokrasi dengan mengatasnamakan
people power," kata Yunarto di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Senin, 13 Mei 2019.
Yunarto menyebut persoalan pemilu tak sebatas perbedaan pilihan antara paslon Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga. Lebih lanjut, melawan oknum-oknum yang berupaya mendelegitimasi pemilu.
"Mendekonstruksi pranata yang sudah kita bangun bersama pasca reformasi yang menurut saya yang harus kita lawan bersama terlepas ingin mendukung Jokowi atau Prabowo," ucap Yunarto.
Baca:
Delegitimasi Penyelenggara Pemilu Mendorong Kekerasan
Sementara menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), delegitimasi penyelenggara pemilu dinilai membahayakan proses pesta demokrasi. Delegitimasi penyelenggara dianggap berpotensi mendorong terjadinya kekerasan terkait pemilu.
"Terlalu intensifnya narasi-narasi yang mendelegitimasi penyelenggara pemilu bisa berkontribusi pada apatisme dan kekerasan pemilu," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dalam sebuah diskusi di Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Rabu, 13 Maret 2019.
Titi menjelaskan kekerasan pemilu meliputi tindakan yang menyebabkan cedera atau matinya seseorang. Perusakan barang kepemilikan pribadi atau publik atau ancaman atau paksaan fisik atau pembunuhan yang berkaitan dengan hak politik warga di konteks kepemiluan juga termasuk di dalamnya.
Baca:
Delegitimasi Pemilu Picu Konflik
Potensi kekerasan pemilu makin besar terjadi ketika narasi-narasi yang mendelegitimasi proses maupun penyelenggara pemilu terus digaungkan. Apalagi, saat ini kondisi masyarakat terbelah. Keterbatasan akses publik terhadap informasi yang kredibel juga dinilai bisa meningkatkan potensi terjadinya kekerasan pemilu.
"Jadi bisa dibayangkan kelindan antara hoaks, fitnah dan keterbatasan akses informasi sangat mudah memprovokasi masyarakat yang terbelah akibat afeksi dan fanatisme politik berlebihan," ujar dia.
Titi mengatakan penyelenggara pemilu memang tetap harus dikontrol. Namun, narasi kontrol terhadap penyelenggara pemilu harus dibedakan dengan narasi yang mendelegitimasi.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((NUR))