Panutan S Sulendrakusumam, Taprof Bidang Ekonomi Lemhannas RI
MASALAH kebangsaan ialah masalah yang berkaitan dengan pencapaian cita-cita negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam alinea kedua Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Upaya pencapaian cita-cita negara tersebut dilakukan sesuai dengan perkembangan zamannya dan terdapat prioritas mana yang lebih didahulukan.
Pada masa awal kemerdekaan, prioritasnya ialah lebih ke arah tercapainya cita-cita negara yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.
Pada masa Orde Baru sampai masa sekarang, seiring dengan selesainya masalah kemerdekaan dan persatuan, penekanannya menjadi lebih ke arah tercapainya negara yang adil dan makmur.
Oleh karena itu, wacana masalah kebangsaan saat ini didominasi masalah yang berkaitan dengan keadilan dan kemakmuran.
Pergeseran masalah kebangsaan ini juga sejalan dengan perubahan peta kekuatan dunia.
Pada saat sebelum Perang Dingin berakhir, di akhir 1980-an, kekuatan dunia ditentukan ideologi dan politik yang dianut negara-negara maju.
Pasca-Perang Dingin, kekuatan dunia juga ditentukan besarnya pasar dan sumber daya dari negara-negara berkembang. Kekuatan ekonomi dunia tidak lagi hanya didominasi negara-negara seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, tetapi juga negara-negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan India.
Masalah keadilan dan kemakmuran, dalam perspektif ekonomi, dapat diartikan sebagai bagaimana manfaat dan biaya yang timbul, dalam negara Indonesia, didistribusikan di antara rakyat Indonesia.
Berbagai data mengenai tingkat ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran menunjukkan negara kita memang masih harus berjuang untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah keadilan dan kemakmuran ini.
Terdapat kalangan ekonom yang berpendapat bahwa cara untuk mengatasi masalah-masalah ini tidak berkaitan dengan ideologi.
Akan tetapi, hanya berkaitan dengan best practices yang tersedia dan dipilih untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Benarkah demikian?
Benarkah ideologi sudah tidak relevan dengan masalah bagaimana menciptakan keadilan dan kemakmuran bangsa Indonesia?
Subjektif
Objektivitas dalam fenomena alam berbeda dengan objektivitas fenomena sosial.
Fenomena alam ialah hasil dari hubungan sebab-akibat.
Misalnya suatu benda logam dipanaskan sekian derajat celsius akan menghasilkan pertambahan panjang sekian milimeter.
Dengan demikian, kenyataan dalam fenomena alam didapat dari hasil pengukuran, yaitu membandingkan suatu objek dengan alat ukur tertentu.
Orang lain dapat mengulangi pengukuran tersebut dan akan menghasilkan ukuran yang kira-kira sama.
Hasilnya adalah objektif dan netral.
Dalam fenomena sosial, kenyataan terbentuk sebagai hasil tindakan-tindakan manusia yang mempunyai kepentingan.
Dengan demikian, kenyataan dalam fenomena sosial bukan semata-mata merupakan hubungan sebab-akibat.
Contohnya ialah pemberian bantuan sosial kepada masyarakat miskin.
Kondisi masyarakat yang miskin belum tentu pasti menerima bantuan sosial.
Kepentingan pemberi bantuan bisa muncul dari kepentingan-kepentingan yang lain, selain kepentingan kemanusiaan.
Oleh sebab itu, fenomena sosial sangat bergantung kepada kepentingan subjeknya.
Fenomena sosial yang terekam bukan merupakan kenyataan yang netral.
Wacana
Penyebab lain ketidaknetralan fenomena sosial ialah bahwa fenomena sosial muncul dalam wacana tertentu.
Sebagai contoh, fenomena perdagangan bebas dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Trans-Pacific Partnership (TPP), dan blok perdagangan bebas lainnya dapat muncul dari berbagai wacana.
Berbagai wacana tersebut misalnya wacana pembangunan berkeadilan, keunggulan kompetitif, dan kolonialisme bentuk baru.
Perbedaan reaksi yang muncul dari berbagai negara atau masyarakat di dalam negara, salah satunya, merupakan akibat dari perbedaan wacana yang digunakan untuk menilai fenomena sosial tersebut.
Sebagai contoh, resistensi akan sangat tinggi untuk fenomena perdagangan bebas apabila wacana yang dimunculkan ialah kolonialisme bentuk baru.
Fenomena perdagangan bebas akan ditafsirkan sebagai upaya penguasaan negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dalam bentuk, di antaranya, memindahkan kemakmuran dari negara berkembang ke negara maju, berkurangnya kedaulatan suatu negara untuk menyelenggarakan urusan ekonominya dan penguasaan lapangan pekerjaan di negara berkembang.
Sebaliknya, resistensi akan rendah apabila masyarakat suatu negara meyakini bahwa fenomena perdagangan bebas tersebut muncul dari wacana pembangunan yang berkeadilan. Dalam wacana tersebut, perdagangan bebas dianggap sebagai cara untuk menyebarkan kemakmuran.
Oleh karena itu, analisis wacana dapat menghasilkan kesimpulan mengenai kepentingan siapa yang dilayani dari fenomena sosial tertentu.
Lebih jauh dapat disimpulkan bahwa wacana tertentu muncul dari kekuatan tertentu, yaitu pihak yang berkepentingan tersebut.
Ideologi
Ideologi secara bebas dapat diartikan sebagai cara yang diyakini terbaik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan.
Cara yang diyakini terbaik untuk memakmurkan secara adil bangsa Indonesia tercantum dalam berbagai pasal di batang tubuh UUD NRI Tahun 1945.
Salah satunya ialah peran negara yang besar dalam perekonomian yang tercantum dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Atau tentang keadilan, misalnya dalam Pasal 27 ayat (1) yang mengatur kedudukan yang sama bagi tiap warga negara di hadapan hukum, yang diikuti dalam ayat (2) tentang hak setiap warga negara terhadap pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kalau diamati, ideologi ekonomi arus utama saat ini, yaitu ideologi perdagangan bebas atau pasar tampak berbeda dengan ideologi ekonomi UUD NRI Tahun 1945.
Ideologi ekonomi perdagangan bebas didasarkan kepada liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan deregulasi yang meminimalkan peran negara.
Dalam ideologi ekonomi UUD NRI Tahun 1945 peran negara sangat besar.
Oleh karena itu, apa yang diyakini sebagai best practices kontemporer untuk memakmurkan negara kita adalah netral, ternyata tidak netral.
Hasil analisis wacana menunjukkan tetap ada kepentingan pihak tertentu yang dilayani best practices tersebut.
Selama pasal-pasal ekonomi dan kesejahteraan sosial di batang tubuh UUD NRI tahun 1945 tidak diamendemen, pemilihan best practices yang akan diterapkan di Indonesia harus sejalan dengan ideologi ekonomi bangsa Indonesia yang tecermin dalam pasal-pasal tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di