Siti Zuhro (Fto: MI)
Siti Zuhro (Fto: MI) (Media Indonesia)

Benang Kusut Relasi Pusat-Daerah

Media Indonesia • 22 September 2014 07:11
Oleh: R Siti Zuhro Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
 
Artikel ini diambil dari edisi cetak Media Indonesia
 
BELAKANGAN ini perhatian publik sangat terfokus pada RUU Pilkada. Nyaris tiada hari tanpa perdebatan. Sayangnya, publik lupa atau bisa jadi tidak menyadari bahwa selain itu, ada isu penting lainnya yang juga memerlukan perhatian besar, yakni revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
 
UU 32/2004 itu sangat penting karena bukan saja akan menjadi acuan bagi praktik desentralisasi dan otonomi daerah, melainkan juga akan menjadi rujukan RUU Pilkada dan UU Desa. Salah satu isu strategis dari 13 isu yang ada dalam RUU Pemda ialah masalah hubungan pusat dan daerah. Masalah tersebut sangat krusial dan perlu ditegaskan sejak awal dalam revisi UU Pemda guna membangun dan memperoleh kesamaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan desentralisasi dan otonomi tak hanya bertujuan untuk memajukan daerah, tapi juga harus mampu meningkatkan pola hubungan yang lebih harmonis antara pusat dan daerah. Sejauh ini yang tersebut terakhir itu belum bisa diwujudkan di era otonomi sekarang ini.
 
Lemahnya relasi
 
Jelas bahwa setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) mengemban amanat untuk mewujudkan kepentingan nasional. Tiap-tiap jenjang pemerintahan memiliki tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangannya. Pemerintah pusat memegang tanggung jawab akhir pemerintahan. Dengan kata lain, pemerintah memegang kendali sebagai pembuat norma, standar, dan prosedur.
 
Masalahnya, meskipun pemerintah daerah merupakan subsistem dari pemerintahan nasional, sejauh ini koordinasi, bimbingan, dan pengawasan (korbinwas) antarjenjang pemerintahan kurang kelihatan. Padahal, efektivitas fungsi korbinwas antarjenjang pemerintahan sangat penting agar konsepsi otonomi daerah dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Bhinneka Tunggal Ika bisa membumi.
 
Sejauh ini kesan yang tampak ialah setiap daerah seolah jalan sendiri-sendiri. Tidak sedikit daerah memunculkan `raja-raja kecil'. Fenomena itu menunjukkan otda yang jelas-jelas mengacu kepada konstitusi dan NKRI itu cenderung dimaknai secara berbeda oleh daerah.
 
Problem relasi
 
Dalam perspektif demokrasi, pemerintah daerah merupakan kumpulan unit-unit lokal dari pemerintah yang otonom, independen, dan bebas dari kendali kekuasaan pusat. Dalam sistem itu pemerintahan daerah meliputi institusi-institusi atau organisasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Institusi demokrasi dalam politik lokal mencerminkan partisipasi masyarakat karena keterlibatan masyarakat di dalam proses pembuatan keputusan menjadi salah satu tujuan penting otonomi daerah.
 
Efektif tidaknya institusi pemerintah daerah sebagian besar bergantung pada berfungsi-tidaknya pembuatan dan pelaksanaan keputusan-keputusan oleh pemerintah daerah. Hak masyarakat sipil untuk mendapatkan akses politik dan kesempatan dalam memperjuangkan kepentingan merupakan hal penting dalam konteks politik lokal. Lebih dari itu, di era otonomi daerah dewasa ini, pemerintah daerah diharapkan dapat lebih memprioritaskan kepentingan masyarakat. Harapan itu bukan tanpa alasan karena tanpa dukungan masyarakat dalam realisasi program kebijakan, -pemerintah tak akan mencapai hasil smaksimal.
 
Bagi Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika atau keragaman lokal yang dimilikinya merupakan aset sangat berarti gyang perlu dijaga danterus diberdayakan. Atas dasar itu, otonomi daerah merupakan suatu keniscayaan.
 
Kiranya tak perlu diragukan lagi bahwa negara kesatuan RI menjunjung tinggi asas desentralisasi dan otonomi daerah. Impian pendiri bangsa untuk membangun rumah Indonesia yang sejahtera dan demokratis tak hanya tecermin dalam kebijakan adan peraturan yang dibuatnya, tetapi juga bisa dilihat melalui perilaku yang tampak. Impian terhadap terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis, adil, dan sejahtera juga bukan semata-mata harapan para pendiri bangsa ini, melainkan juga impian rakyat yang sebagian besar nasibnya tak kunjung tersejahterakan.
 
Hal tersebut mem buktikan semua impian atau harapan itu sampai saat ini masih tinggal haarapan. Apakah semua mimpi itu bisa menjadi kenyataan? Hal itu sangat bergantung pada kebijakan (elite) pemerintah di tingkat nasional. Realitas saat ini menunjukkan Indonesia bukanlah negara maju. Suatu negara yang maju secara sosial, politik, dan ekonomi, maka enititas yang diberikan kepada unit pemerintahan lokalnya akan semakin otonom. Sebaliknya, suatu negara yang terbelakang secara sosial, ekonomi, dan politik, maka entitas yang diberikan ke unit pemerintahan lokalnya akan semakin administratif. Dalam konteks Indonesia, kecenderungan yang kedua tersebut lebih teraplikasikan.Alasannya agar pemerintah daerah tidak keluar dari koridor otonomi dan melakukannya sesuka hati.
 
Pemerintah memegang kendali dalam menentukan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). Masalahnya ialah, apakah koridor tersebut tidak justru menjadi kendala bagi daerah-daerah dalam melaksanakan otonomi?Apakah benar bahwa kontrol kuat pemerintah melalui NSPK tersebut akan dapat menciptakan sinkronisasi, sinergi, dan koordinasi antarjenjang pemerintahan?
 
Kalau asumsi tersebut benar, mengapa relasi pusat-daerah di era otonomi ini tak lebih baik ketimbang era sebelumnya? Realitasnya `sinkronisasi, sinergi, dan koordinasi' yang menjadi salah satu kunci penting otonomi daerah sulit dilakukan pusat dan daerah.
 
Lepas dari itu, secara teoretis ataupun praksis, tidak ada satu pun negara yang menjalankan secara penuh desentralisasi dan sentralisasi. Yang ada ialah pengombinasian antara asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Hal itu menunjukkan kecenderungan ke arah desentralisasi dan sentralisasi ditentukan sistem pemerintahan yang diberlakukan di suatu negara. Namun, yang jelas model demokrasi lokal yang digunakan dalam pendekatan politik akan memberikan peluang yang besar bagi dihormatinya keragaman dan kemandirian lokal.
 
Rumusan desentralisasi yang didasarkan atas demokrasi menegaskan daerah perlu memiliki kekuasaan dan stakeholder perlu berperan serta dalam pengambilan keputusan. Penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan kepada daerah, baik yang berlandaskan desentralisasi, dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan, menuntut pengaturan yang jelas sehingga tidak terjadi overlapping dan konflik dalam penyelenggaraannya di antara jenjang pemerintahan (pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota). Meskipun daerah otonom tidak bersifat hierarkis, urusan pemerintahan yang menjadi otonomi daerah otonom pada dasarnya juga menjadi perhatian kepentingan pusat. Untuk itu, diperlukan sinkronisasi dan sinergi dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Dengan kata lain, perlu penyesuaian antara fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom dan kewenangan yang dimiliki kementerian sektoral di pusat.
 
Otda ala Indonesia
 
Revisi UU No 32/2004 menegaskan ciri utama otonomi daerah dalam konteks NKRI ialah adanya hubungan hierarkis antara pusat dan daerah. Daerah otonom dibentuk pusat dan bahkan dapat dihapus apabila tidak mampu melaksanakan otonominya. Sumber kewenangan daerah berasal dari pemerintah pusat dan tanggung jawab pemerintahan ada di tangan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945.
 
Desentralisasi sejatinya bertujuan politik dan ekonomi. Tujuan politiknya ialah memperkuat pemerin tah daerah (pemda), meningkatkan kemampuan aparat pemda dan masyarakat di daerah, dan mempertahankan integrasi nasional.Sementara itu, tujuan ekonominya ialah meningkatkan kemampuan pemda menyediakan layanan publik yang profesional dan terjangkau, efisien, dan efektif.
 
Sebagai negara kepulauan (archipelago), Indonesia menghadapi isu rentang kendali (span of control) yang serius antara pusat dan daerah. Kebijakan desentralisasi di negara kesatuan berawal dari adanya pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
 
Dalam konsep negara kesatuan, kekuasaan pemerintahan ada pada pemerintah pusat. Makin sentralistis pemerintahan di suatu negara, makin sedikit kekuasaan pemerintahan atau urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Sebaliknya, makin desentralistis pemerintah suatu negara, akan makin luas pula urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Selain itu, realitas lainnya ialah meskipun pemerintah daerah merupakan subsistem dari pemerintahan nasional, sinergi dan harmonisasi antara kebijakan pusat dan daerah kurang tampak. Dalam kaitan itulah seharusnya perbaikan kualitas korbinwas antarjenjang pemerintahan dilakukan agar praktik otda menjadi lebih efektif. Ke depan, diperlukan sinergi, koordinasi, dan komunikasi yang lebih efektif antarjenjang pemerintahan agar terwujud pengawasan yang lebih memadai.
 
Seiring dengan itu, hadirnya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) juga perlu lebih dimaksimalkan agar antisipasi terhadap kemungkinan penyimpangan otda bisa dilakukan lebih cepat. Dengan kata lain, meskipun revisi UU No 32/2004 mencantumkan penalti terhadap pimpinan daerah yang menyimpang, bukan berarti itu bisa langsung mengunci kecenderungan pelanggaran yang dilakukan pimpinan daerah. Yang penting diwujudkan ialah konsistensi semua stakeholder terkait untuk menyukseskan otda dan meningkatkan pola relasi pusat-daerah yang harmonis.
 
Soal korbinwas
 
Karena otda dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat, hal tersebut perlu dimanifestasikan secara konkret dengan menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, yang melayani, dan mampu meningkatkan daya saing lokal. Menyejahterakan rakyat melalui otda harus menjadi ikon penting agar praktik-praktik negatif seperti pemekaran pemerintahan (baca daerah), munculnya perda bermasalah, dan konflik atau kekerasan yang menyertai pilkada tak perlu ada.
 
Permasalahan serius ketidakharmonisan hubungan pusat dan daerah tak cukup hanya dijembatani melalui perbaikan UU saja, tapi lebih penting dari itu ialah perlunya manifestasi konkret political will dan political commitment dari para stakeholder terkait untuk konsisten menjalankannya di tataran praksis. Resistensi daerah yang berlebihan terhadap kebijakan pusat juga perlu diakhiri dengan memperbaiki pola komunikasi, sinergi, dan koordinasi yang lebih baik. Tidak efektifnya koordinasi, pengawasan, dan bimbingan (korbinwas) antarjenjang pemerintahan berpengaruh negatif terhadap praktik pemerintahan karena setiap jenjang pemerintahan akan jalan menurut kehendaknya sendiri. Kalau itu yang terjadi, kebangsaan dan kesatuan Indonesia akan berada di ujung tanduk dengan risiko besar yang akan ditanggung Republik ini.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase opini

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif