ILUSTRASI: Muhammad Rizal/Medcom.id
ILUSTRASI: Muhammad Rizal/Medcom.id (Sobih AW Adnan)

FOKUS

Niat Baik di Tahun Politik

Sobih AW Adnan • 03 Januari 2018 21:50
Jakarta: Kelebihan 11 menit 14 detik dianggap sebagai bukti kekeliruan kalender Julian. Padahal, penanggalan matahari itu sudah digagas dan diterapkan sejak lama atas perintah penguasa Romawi, Julius Caesar.
 
Pada 1582, seorang pemimpin gereja Roma Paus Gregorius XIII merasa perlu melakukan pembenahan. Ia membuang 10 hari dari bulan Oktober dalam penanggalan lama agar dinilai lebih masuk akal. Di tangan Gregorius pula, nama Ianuarius berubah eja menjadi Januari, sang bulan perdana.
 
Januari, diambil dari Janus, nama salah satu dewa yang dipercaya masyarakat Romawi memiliki dua wajah; satu mengarah ke masa depan, dan satunya lagi menghadap ke belakang sebagai penanda pentingnya permenungan.
 
Cerita inilah yang oleh masyarakat modern dikembangkan menjadi istilah resolusi. Yakni, memaknai tahun baru sebagai momentum evaluasi, serta membangun tekad untuk menata kehidupan yang lebih baik lagi. Resolusi, tak melulu terkait badan sendiri. Dengan cakupan lebih luas, resolusi perlu pula dikukuhkan demi kebaikan negeri.
 
Demokrasi vs korupsi
Akan ada 17 provinsi, 39 kotamadya, dan 115 kabupaten yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 2018. Saking semaraknya, tahun ini layak disebut tahun politik.
 
Sebutan tahun politik ini makin klop mengingat 2018 merupakan jenjang terdekat sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Pilkada yang terselenggara di dalamnya pun, banyak yang menganggapnya sebagai babak penentuan.
 
Pilkada, pun Pilpres, tentu masih relevan dengan sebutan pesta demokrasi. Tapi tak jarang pula, hajatan rakyat ini malah ditampilkan dengan wajah sinis sebagai pemicu tindak korupsi.
 
Hal ini, tak ditampik Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurutnya, aktivitas politik yang masif dan berbiaya tinggi tak menutup kemungkinan menjadi salah satu pendorong bagi seseorang berani melakukan korupsi.
 
Begitu pula jika mengutip data yang dipaparkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selama 2017, KPK menangani sebanyak 19 kasus korupsi. Dari 72 tersangka yang berhasil ditangkap, banyak pula berlatar belakang kepala daerah yang lihai memainkan angka-angka anggaran negara.
 
Lantas, siapa yang memungkiri, jika ada yang sesumbar mengatakan bahwa pilkada adalah gerbang bagi oknum tertentu untuk menuju perselingkuhan praktik politik dan tindakan korupsi.
 
Sedikitnya, ada dua pihak lain yang berkepentingan agar kongkalikong itu tak sampai kejadian. Pertama, masyarakat pemilih yang kritis. Kedua, partai politik (parpol) yang sudah waktunya menerapkan sistem pengkaderan matang, serta metode seleksi kontestan politik yang diperketat.
 
Pada 2018, masyarakat tidak cuma berkepentingan untuk berkhayal-khayal tentang masa depan melalui janji-janji yang ditebarkan para calon. Masyarakat, tak kalah perlu melihat latar-belakang dan sepak terjang apa yang sudah pernah dilakukan.
 
Sementara bagi parpol, sudah barang tentu mesti menanggalkan timbang-timbang figur melulu berdasarkan uang. Visi-misi dan gagasan, sudah waktunya kembali dijadikan kiblat dan takaran.
 
Niat Baik di Tahun Politik
 
Politik dan intoleransi
Berkaca dari laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017 lalu saja masih diwarnai beberapa pelanggaran dengan angka yang cukup tinggi. Di antaranya, politik uang, modus pembagian logistik demi membeli suara calon pemilih, motif kesalahan prosedur yang dilakukan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), keterlibatan penyelenggara negara, kehilangan hak pilih, dan adanya pemilih ganda.
 
Khusus di DKI Jakarta, misalnya, Bawaslu menyebut terdapat lebih dari 100 pelanggaran yang terjadi. Kesalahan prosedur KPPS mencapai angka tertinggi sebesar 40%.
 
DKI Jakarta, memang banyak yang menjadikannya sebagai rujukan. Bukan sekadar lantaran di sanalah pusat negara, akan tetapi pertarungan politik perebutan posisi Gubernur dan Wakil Gubernur kemarin menyita nyaris seluruh perhatian masyarakat di Indonesia.
 
Belum lagi, banyak pihak menilai, Pilkada DKI 2017 begitu sarat dengan politik kebencian berbasis identitas yang ujung-ujungnya membelah masyarakat tak berkesudahan. Masyarakat yang sebelumnya amat karib dengan keberagaman, kini mudah terganggu, sensitif, dan gampang terpancing untuk terlibat dalam keriuhan.
 
Nahasnya, tak sedikit dari politisi yang justru memanfaatkannya demi menuai keuntungan.
 
Adu gagasan yang semestinya paling ditunggu dalam kontestasi politik, tak lagi memiliki arti. Politik identitas, lebih banyak dijadikan andalan.
 
Ada kekhawatiran, kemerosotan demokrasi ini bertahan hingga Pilkada 2018. Dan bukan amat mustahil, jika para politisi tak memasukkan hal tersebut sebagai bahan evaluasi.
 
Sederhananya, perlu ada semacam resolusi dan niat baik demi terjaganya iklim demokrasi yang ideal di Indonesia. Utamanya, bagi para praktisi politik sendiri. Sebab, mau tidak mau, di pundak merekalah tanggung jawab itu diemban. Sikap yang kenegarawanan, menjadi hal utama yang penting ditumbuhkan demi kembalinya demokrasi melaju dijalan yang benar.
 
Politik, bukan lagi cuma perkara menang-kalah. Begitu pun demokrasi, ia lebih halal diterjemahkan sebagai panggung mengambil peran pembangunan, bukan malah menjelma penyebab kehancuran.
 
Benar apa yang dibilang Cendekiawan muslim Indonesia Ahmad Syafii Maarif. Menurutnya, musabab maraknya aksi intoleransi akhir-akhir ini sejalan dengan keberadaan oknum politisi yang masih berpandangan sangat pragmatis.
 
Menurut tokoh yang karib disapa Buya Syafii ini, selama politikus enggan naik kelas menjadi negarawan, maka tujuan demokrasi untuk kesejahteraan bersama akan sulit diwujudkan.
 
Terpisahnya para politikus dari sikap kenegarawanan ini memang cerita lama. Politik yang pada mulanya bertujuan baik, tak jarang turut ambrol seiring merosotnya moral keteladanan para politisi.
 
Jika sudah seperti ini, bisa-bisa ungkapan negarawan asal Prancis Jenderal Charles de Gaulle sepenuhnya menjadi benar, "Urusan politik terlalu penting untuk diserahkan hanya kepada para politisi."
 
Atau memang, politisi tak boleh sendirian. Masyarakat dan semuanya juga perlu merumuskan niat baik sejak hari pertama di tahun politik.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase tahun baru pilkada serentak pilkada 2018

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif