Ilustrasi--Petugas KPU DKI Jakarta memusnahkan surat suara yang rusak jelang pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta Putaran Kedua di KPU DKI Jakarta, Jakarta. (Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja)
Ilustrasi--Petugas KPU DKI Jakarta memusnahkan surat suara yang rusak jelang pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta Putaran Kedua di KPU DKI Jakarta, Jakarta. (Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja)

Kebencian dan Hoaks, Politik Identitas yang Membunuh Rasionalitas

02 Januari 2018 14:44
Jakarta: Analis Politik Daniel Dhakidae menilai sedikitnya ada dua hal yang membuat isu politik identitas di Indonesia mampu membunuh rasionalitas. Pertama adalah kebencian, kedua hoaks yang menjatuhkan.
 
Menurutnya unsur kebencian akan diolah sedemikian rupa hingga menjadi alat yang bisa diterima untuk membangun politik identitas.
 
"Karena kebencian dirancang dan dimobilisasi sedemikian rupa, masuklah 'saudara sepupunya' yaitu hoaks. Kebencian dan hoaks itu dua sisi mata uang yang sama," ungkap Daniel, dalam Opini 2 Sisi, Senin 1 Januari 2018.

Daniel menjamin, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada yang mengaku terus terang ke publik telah melakukan politik identitas. Baik perorangan maupun kelompok.
 
Alasannya, politik identitas selalu menggunakan kebencian dan kebohongan yang memang disadari bahwa kedua hal tersebut merupakan 'laknat' dalam dunia politik.
 
"Di sinilah partai menjadi ujung tombak politik negeri ini. Hanya partai yang mampu menyelesaikan ini semua, karena semua wewenang sudah kami (rakyat) serahkan ke partai," tegasnya.
 
Banyaknya isu kebencian dan hoaks yang dikemas dalam politik identitas faktanya mudah diterima begitu saja oleh masyarakat.
 
Cendekiawan Muslim Komarudin Hidayat menilai hal itu tak lepas dari peran partai politik sekarang ini yang cenderung mengambang. Mereka tak memiliki konstituen, tak punya aliran yang mampu membentengi akar rumput dari isu politik identitas.
 
"Partai politik justru membeli suara, meminjam tokoh-tokoh agama karena partai sendiri tidak punya program ke bawah. Sementara ke atas jarang melahirkan politikus negarawan. Cari calon presiden dan wakil presiden dari parpol saja sulit, makanya mengambang," kata Komar.
 
Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menilai jika partai politik tak berusaha mengubah, memperbaiki diri, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik akan semakin menurun. Implikasinya, kepercayaan pada pemerintah pun rendah.
 
Menurutnya, Indonesia memang plural dengan ikatan emosional terhadap agama begitu kuat. Namun orang cenderung lebih merasa sebagai anggota jemaah gereja, jemaah masjid, pengikut ormas, atau pengikut mazhab sementara peran sebagai citizenship begitu rendah.
 
Bukan tanpa alasan, rendahnya hubungan kewarganegaraan tak lepas dari masa orde baru yang memang tak banyak melibatkan masyarakat dalam kehidupan politik. Sementara saat ini meskipun politik demokrasi sudah lebih membumi, pelaksanaanya masih prosedural.
 
"Jadi tradisi kesadaran warga negara di sini itu belum terjadi. Yang terjadi adalah kompetisi, ada ruang kosong yang digunakan sebagai kompetisi perebutan kekuasaan," jelasnya.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan