SAMA halnya dengan tindak pidana korupsi dan terorisme, narkoba termasuk kejahatan luar biasa sehingga harus diperangi dengan upaya luar biasa pula. Bangsa ini pantang menyurutkan kemauan dan mendistorsi nyali untuk memberantas peredaran barang laknat itu.
Sama seperti korupsi dan terorisme, perang melawan narkoba ialah perang panjang yang amat menguras energi. Di negeri ini, narkoba telah menjadi musuh paling ganas. Narkoba sudah menyelusup ke segala lini kehidupan.
Bahkan, semakin banyak penegak hukum yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam pemberantasan narkoba justru bersujud di kaki para bandar. Terakhir, Kasat Narkoba Polres Pelabuhan Belawan, Sumatra Utara, Ajun Komisaris Ichwan Lubis diduga menerima suap Rp2,3 miliar dari sindikat narkoba. Ia sudah dipecat dan segera diproses hukum.
Karena itulah, berulang kali kita suarakan bahwa negara ini butuh kemauan dan semangat luar dalam perang melawan narkoba. Tidak ada alasan yang bisa menjadi pembenaran untuk menganggap narkoba sebagai kejahatan berkelas biasa sehingga cukup disikapi dengan cara biasa.
Karena itu pula, tidak tepat ketika belakangan muncul pemikiran untuk meninjau ulang Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pemikiran itu muncul setelah beberapa kali lembaga pemasyarakatan dilanda kerusuhan, terakhir di LP Banceuy, Bandung.
Kerusuhan di LP Banceuy, Sabtu (23/4), meledak ketika para narapidana mengamuk menyusul meninggalnya teman mereka di ruang isolasi. Pihak LP mengklaim korban bunuh diri, tetapi narapidana yakin ia dianiaya. Lalu, mencuatlah asumsi lain bahwa kerusuhan tersebut tak lepas dari pemberlakuan PP No 99/2012.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly terang-terangan menyatakan PP itu merupakan biang kerusuhan LP. Ia pemantik keberingasan napi, utamanya dalam kasus narkoba, karena harapan mereka untuk bebas lebih cepat menjadi terhambat. PP No 99/2012 memang memperketat pemberian remisi bagi terpidana narkoba, juga untuk pesakitan korupsi dan terorisme.
Jelas bahwa PP tersebut diberlakukan sebagai jawaban atas kian menggilanya kejahatan narkoba. Pengetatan remisi merupakan pesan amat nyata agar tak main-main.
Betul bahwa seiring dengan pemberlakuan PP itu, LP dan rumah tahanan kian kelebihan penghuni. Penjara yang sudah lama sesak kian menyesakkan karena pendatang baru terus berdatangan, sedangkan yang menyelesaikan masa hukuman dalam perkara narkoba lebih sedikit karena pengetatan remisi. Saat ini, setidaknya ada 62 ribu narapidana narkoba yang meringkuk di seluruh LP di Tanah Air.
Kita memahami, pengetatan remisi membuat beban LP semakin berat. Namun, bukan berarti kita lantas menyerah, lalu membuat langkah mundur dengan meniadakan pengetatan remisi narapidana khusus, seperti napi narkoba.
Di tengah serangan narkoba yang kian masif, ketegasan menjadi keniscayaan. Mencabut aturan pengetatan remisi jelas bukan langkah yang bijak. Untuk mengatasi minimnya kapasitas LP karena terus menumpuknya napi narkoba, pemerintah bisa memangkasnya dari hulu.
Tidak memenjarakan pengguna narkoba ialah langkah tepat agar LP tak semakin sesak. Di sini profesionalisme dan integritas penegak hukum diperlukan. Polisi dan insan peradilan tak boleh menjadikan ketentuan itu sebagai ajang mainan dengan menjerat pengguna sebagai pengedar dan bandar, atau sebaliknya, menjadikan pengedar/bandar sebagai pengguna. Pengetatan remisi bagi terpidana narkoba ialah bentuk ketegasan yang harus dipertahankan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
