DPRD DKI Jakarta dan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, dalam membangun komunikasi politik, seperti menarik dua garis sejajar yang ujungnya tidak pernah bertemu.
Menarik garis sejajar seperti itu pada dasarnya mengingkari hakikat politik.
Hakikat politik ialah seni mencari kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Karena itu, politik dipahami sebagai upaya kompromi untuk membangun konsensus demi kepentingan rakyat.
Dengan kata lain, kepentingan rakyat yang pertama dan terutama dalam politik, bukan kepentingan elite.
Kepentingan rakyat itulah yang dipinggirkan dengan kesadaran penuh dalam pembahasan Rancangan APBD 2015 Jakarta yang akhirnya buntu.
DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gagal membangun konsensus. Rapat DPRD DKI Jakarta pada Jumat (20/3) menolak Rancangan Peraturan Daerah APBD 2015.
APBD 2015 mestinya berlaku sejak 1 Januari hingga 31 Desember.
Hal itu berarti, hingga hari ini, DKI Jakarta belum memiliki APBD definitif sehingga realisasi triwulan pertama kosong melompong.
Sama sekali tidak ada pembangunan yang dibiayai APBD selama tiga bulan terakhir.
Sangat terang benderang kepentingan rakyat Jakarta dipinggirkan.
Sesuai dengan ketentuan perundangan, jika legislatif dan eksekutif tidak menemui kata sepakat soal rancangan APBD, berlakulah APBD tahun sebelumnya yang ditetapkan melalui peraturan gubernur.
Konsekuensi logisnya ialah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menggunakan pagu APBD Perubahan 2014.
Anggaran APBD Perubahan 2014 sebesar Rp72,9 triliun, sedangkan RAPBD 2015 sebesar Rp73,08 triliun.
Ada selisih sekitar Rp180 miliar. Lagi-lagi, kepentingan rakyat dipinggirkan.
Harus jujur dikatakan bahwa DPRD DKI Jakarta melalaikan tugas dan kewajibannya.
Salah satu tugas DPRD ialah membahas dan memberikan persetujuan rancangan perda APBD yang diajukan gubernur.
Setelah perda APBD disetujui, tugas dewan selanjutnya ialah mengawasi penggunaan APBD, apakah sungguh-sungguh digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketika DPRD DKI Jakarta tidak menyetujui perda APBD, apakah dia masih berhak untuk mengawasi penggunaan APBD 2015?
Jika DPRD tidak berhak, siapa yang harus mengawasi eksekutif dalam hal penggunaan anggaran yang berasal dari APBD 2015?
Masihkah keberadaan DPRD dipertahankan jika ia tidak lagi berhak mengawasi penggunaan APBD yang tidak disetujuinya?
Keberadaan DPRD mutlak diperlukan sebagai syarat demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa DPRD.
Akan tetapi, DPRD yang dibutuhkan bukan sekadar aksesori demokrasi, melainkan yang bersungguh-sungguh berpihak kepada rakyat.
Sejauh ini, DPRD DKI Jakarta terkesan hanya memperjuangkan kepentingan politik untuk menggusur Gubernur Ahok lewat angket APBD.
Pertikaian elite politik hanya menciptakan kebisingan yang tidak membawa manfaat untuk rakyat.
Kita menyeru DPRD DKI Jakarta dan Gubernur Ahok agar selalu sadar bahwa esensi dari kekuasaan untuk kepentingan rakyat.
DPRD hentikan angket dan Ahok memperbaiki komunikasi politik, jangan lagi menarik garis sejajar yang ujungnya tidak pernah bertemu.
Belum ada sejarahnya provinsi menggunakan anggaran tahun sebelumnya.
Jika sampai menggunakan APBD tahun sebelumnya, DKI Jakarta bakal menggores sejarah sebagai provinsi pelopor.
Sayangnya, DKI menjadi pelopor buruknya komunikasi antara legislatif dan eksekutif yang hasilnya ialah ibu kota negara itu tiga bulan tanpa APBD.
Cek Berita dan Artikel yang lain di