PENETAPAN Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama telah menjadi tonggak baru dalam upaya penegakan hukum.
Tonggak baru karena kasus tersebut menjadi pertanda mulai luruhnya adagium bahwa penegakan hukum di negeri ini hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Tidak kurang dari Presiden Joko Widodo sendiri pernah mengungkapkan kondisi penegakan hukum yang masih tebang pilih tersebut.
Kita sangat mengapresiasi kinerja Polri yang secara profesional telah mulai melakukan penegakan hukum yang ‘tajam ke atas’. Polri seperti tengah memulai aksi untuk membuat hukum juga tajam kepada siapa pun, tidak terkecuali kepada pejabat tinggi negara seperti Ahok yang dipersepsikan berada di ‘atas’, dekat dengan kekuasaan.
Kita mencatat, sebelum penetapan status tersangka Ahok oleh Bareskrim Polri, dalam safari ke sejumlah kalangan termasuk kelompok ulama dan satuan-satuan TNI, Presiden berkali-kali menegaskan ia tidak akan melindungi Ahok dalam kasus penistaan agama.
Penetapan status tersangka terhadap Ahok membuktikan ucapan Presiden itu benar belaka. Juga menunjukkan bahwa upaya Presiden untuk membuat hukum tidak hanya tajam ke bawah tapi juga tajam ke atas itu bukan pemanis mulut.
Terlepas bahwa penetapan tersangka terhadap Ahok juga tetap harus menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah, tetap saja langkah penetapan itu patut diapresiasi.
Ahok, yang selama ini telah dipersepsikan sebagai sosok yang sangat sentral di ‘posisi atas’ bahkan dipersepsikan menjadi ‘ring setengahnya’ Presiden Joko Widodo, ternyata tidak luput dari jangkauan hukum. Kita melihat harapan Presiden bahwa semestinya hukum juga harus tajam ke atas dan tidak hanya tajam ke bawah seperti akan menjadi kenyataan.
Inilah yang kita sebut sebagai datangnya momentum baru bagi penegakan hukum bahwa asas equality before the law itu ternyata bukan cuma prinsip universal yang hanya hidup dalam diskursus politik, intelektual, dan moral. Ia nyatanya akan dapat pula implementatif.
Karena itu, bukan hanya harus mengelola momentum itu, kita justru harus semakin menguatkan, membesarkan, dan mendorongnya menjadi elan vital baru dalam era penegakan hukum. Era penegakan hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas sudah saatnya diakhiri.
Prinsip penegakan hukum tajam ke bawah dan ke atas, bahkan ke samping harus menjiwai semangat di era ke depan ini. Konsekuensinya, penegak hukum, baik Polri, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, harus mengadaptasi dan mengadopsi elan vital dalam membongkar dan menuntaskan kasus-kasus lama yang selama ini dipersepsikan ‘tumpul ke atas’.
Penegak hukum harus mulai berancang-ancang membuat gebrakan guna memastikan kasus-kasus yang gagal menyentuh kalangan ‘atas’ juga digarap. Tabu yang melingkupi kasus-kasus megaskandal lama pun harus dibongkar.
Sebut saja pada kasus dugaan korupsi pada bantuan likuiditas Bank Indonesia, kasus Bank Century, kasus KTP-E, kasus mangkraknya 34 proyek PLN, kasus Hambalang, dan kasus-kasus lain, termasuk kasus mafia peradilan di MA yang selama ini majal.
Inilah momentum baru penegakan hukum. Kita tidak boleh menyia-nyiakan datangnya kesempatan emas untuk membuat negeri ini benar-benar sebagai negeri yang berlandaskan hukum, bukan negeri yang dikendalikan dengan kekuatan dan kekuasaan semata.
