Dua kasus dugaan korupsi di lingkungan militer terkuak dalam kurun waktu enam bulan belakangan. Yang satu terkait dengan pengadaan satelit pemantau di Badan Keamanan Laut RI. Kasus terbaru menyangkut pembelian helikopter Agusta Westland 101 oleh TNI Angkatan Udara yang diungkap pekan lalu.
Dugaan suap di Bakamla terungkap melalui operasi tangkap tangan yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi pada Desember tahun lalu. Lima orang ditangkap, tetapi hanya empat dari mereka yang ditetapkan tersangka. Keempatnya sipil.
Belum ada satu pun tersangka dari kalangan militer dalam kasus tersebut kendati nama mereka disebut-sebut di sidang pengadilan tindak pidana korupsi yang tengah bergulir. Pada kasus dugaan korupsi pembelian heli, Panglima TNI menyatakan tiga orang menjadi tersangka, seluruhnya dari kalangan militer.
Penyelewengan dalam pembelian heli yang sejak awal kontroversial itu terungkap berkat kerja sama TNI dan KPK. KPK menyatakan akan ada tersangka baru dari kalangan sipil dalam perkara yang sama.
Hingga saat ini bisa dikatakan, tidak ada satu pun instansi pemerintahan di pusat ataupun daerah, termasuk instansi militer, yang bebas dari cengkeraman budaya korupsi. Namun, perburuan para koruptor di kalangan militer masih dipandang sebelah mata.
Disebut sebelah mata karena KPK tidak bisa masuk menyelidiki dugaan korupsi di militer. Dalam kasus korupsi pembelian heli, KPK masuk atas 'undangan' TNI.
Lalu, pelaku korupsi yang merupakan anggota militer hanya bisa disidangkan di peradilan militer, bukan pengadilan tipikor.
Memang, beberapa kali TNI mengungkapkan hasil peradilan militer terhadap anggota militer yang terbukti melakukan korupsi. Salah satunya Brigadir Jenderal Teddy Hernayadi, mantan Direktur Keuangan Markas Besar TNI-AD. Ia divonis seumur hidup pada November tahun lalu karena terbukti korupsi pengadaan alutsista setara Rp165 miliar.
Meski begitu, proses penyidikan hingga penjatuhan vonis di peradilan militer yang tertutup membuat publik ragu atas upaya memberantas korupsi di tubuh militer. Ketidaktransparanan itu turut diterapkan dalam proses pengadaan dengan dalih melindungi rahasia negara. Padahal, di ruang-ruang gelap itulah tentakel koruptor leluasa bergerak.
Di tengah bergulirnya dua perkara korupsi di badan militer, wacana menghadirkan peradilan koneksitas kembali mencuat. Dalam peradilan ini, kasus pidana oleh orang yang tunduk pada peradilan umum ataupun peradilan militer ditangani secara bersama-sama, bukan dengan peradilan terpisah.
Peradilan koneksitas hanya bisa terwujud jika KPK, TNI, dan penegak hukum lainnya berkomitmen kuat mewujudkan peradilan yang tuntas memburu koruptor. Kerja sama dalam penyidikan perkara korupsi heli di TNI-AU patut mendapat acungan jempol. Akan tetapi, alangkah baiknya bila kekompakan tersebut dibawa lebih jauh hingga ke tingkat peradilan.
Bila perlu, mantapkan kehadiran peradilan koneksitas melalui pengaturan dalam undang-undang. Parlemen juga perlu membuktikan bahwa budaya korupsi merupakan musuh bersama seluruh elemen bangsa dan bukan malah ikut melestarikan. Kejahatan luar biasa yang bernama korupsi harus enyah dari muka bumi Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
