Tabiat pengambilan keputusan di penghujung waktu masih kental mewarnai perilaku politik di negeri ini. Sejumlah partai politik bahkan merasa sangat nyaman mengambil keputusan saat injury time. Padahal, ketika keputusan diambil di akhir, nuansa pragmatisme politik jelas terasa. Persepsi bahwa koalisi untuk mengusung kandidat hanya berdasarkan pertimbangan menang-kalah sulit dibantah. Politik transaksional tak terhindarkan mengemuka.
Partai politik sebagai pilar demokrasi harusnya menjadi pelopor dalam membangun koalisi yang benar-benar menjadi muara aspirasi rakyat. Kini, koalisi dukungan yang dibangun parpol lebih cair dan tidak berdasarkan ideologi, visi, misi, dan program yang sama. Itulah yang terjadi dalam proses pencalonan di Pilkada DKI Jakarta 2017. Hingga seminggu menjelang pendaftaran calon, baru Partai NasDem, Golkar, dan Hanura yang tegas mendeklarasikan kandidat petahana Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon gubernur.
Posisi Sandiaga Uno yang diusung Partai Gerindra masih belum dipastikan sebagai cagub atau cawagub karena menunggu perkembangan konstelasi politik. Sikap Gerindra mungkin berkelindan dengan posisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang belum jelas juntrungnya, apakah mendukung petahana atau mengusung kandidat sendiri. PPP, PAN, PKB, dan Partai Demokrat bahkan mulai mengambil ancang-ancang masing-masing, meninggalkan Koalisi Kekeluargaan. PPP muncul lewat dukungan mereka kepada Yusril Ihza Mahendra, sedangkan Rizal Ramli mengklaim diusulkan PAN.
Tidak hanya di pilkada DKI Jakarta, di enam provinsi lain, tempat pilkada serentak juga akan digelar, parpol masih sibuk membangun koalisi. Belum lagi di tingkat kabupaten/kota yang mencapai 94 daerah, belum semua parpol mematangkan koalisi. Sebagai contoh, di pilkada Banten, bongkar pasang koalisi masih terjadi. Petahana Rano Karno yang diusung PDI Perjuangan belum menemukan pasangannya.
Memang tidak salah parpol melihat respons dan opini publik dalam mendukung kandidat mereka. Namun, hal itu hanya mencerminkan parpol sebagai perahu untuk mengantar calon yang tercantum di surat suara semata. Pilkada hanya akan jadi ajang kompetisi, bukan untuk melahirkan pemimpin yang punya karakter dan ideologi yang jelas. Semestinya, dari rahim parpol lahir kader pemimpin yang sejak jauh waktu telah diproyeksikan, bukan kandidat cabutan yang didukung karena kompromi politik saja. Begitu juga koalisi dibangun dengan tujuan membangun dan melembagakan tradisi konsensus di antara para pemimpin partai.
Koalisi semestinya pantang dibangun di atas politik kartel. Padahal, dalam konstitusi dan norma positif kita, parpol ditegaskan punya beban kewajiban untuk memberikan pendidikan demokrasi dan teladan dalam berpolitik kepada rakyat.
Dengan keputusan politik di awal untuk menentukan kandidat, masyarakat akan lebih mengenal para calon pemimpin mereka. Juga, bakal lebih banyak waktu untuk menyinergikan dan mengonsolidasikan pemahaman di antara parpol koalisi.
Keputusan politik mesti diambil lewat proses yang transparan dan akuntabel sehingga rasa partisipasi politik masyarakat yang mulai apatis ini terbangkitkan.
Patut rasanya mengapresiasi sikap Partai NasDem, Golkar, dan Hanura yang telah memantapkan dukungan sejak jauh hari. Tiga partai itu tidak membuat publik larut dalam drama prapencalonan di pilkada. Mereka paham, sangat sayang energi besar publik pada pilkada DKI Jakarta terkuras habis untuk mengikuti syahwat elite politik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
