Negeri ini sejatinya belum bersepakat penuh dengan penerapan hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Hukum positif di Indonesia saat ini memang 'menghalalkan' hukuman mati. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai payung hukumnya jelas masih mengatur eksekusi terhadap terpidana mati.
Akan tetapi, penolakan terhadap jenis hukuman tersebut juga terus mengemuka. Kampanye antihukuman mati tak pernah berhenti bergaung. Sebagian besar penolakan itu didasari bahwa hukuman mati dipersepsikan tak bisa dibenarkan secara moral, bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Hukuman mati juga dinilai tak menimbulkan efek jera khusus terhadap kejahatan. Apalagi, dasar dari hukuman mati tersebut sekadar pembalasan dendam atau anggapan bahwa hukuman harus setimpal dengan kejahatan pelakunya. Dalam perspektif para penolak ini, hukuman mati memang ada, tetapi sebaiknya ditidurkan atau dibikin menjadi tiada.
Dalam konstelasi seperti itu, wajar bila publik dibuat kaget oleh wacana penerapan hukum kisas atau hukuman mati dengan dipancung bagi pelaku pembunuhan di Provinsi Aceh. Pemprov Aceh mengaku tengah mengkaji penerbitan sebuah qanun yang mengatur tentang hukuman pancung demi menekan maraknya aksi pembunuhan di daerah tersebut.
Tak perlu menunggu lama, gelombang perdebatan pun langsung mengemuka. Kali ini bukan lagi sekadar perdebatan masih patut atau tidaknya penerapan hukuman mati, melainkan juga gugatan keras terhadap metode pemancungan yang bahkan tidak dikenal dalam hukum pidana kita. KUHP hanya mengatur hukuman mati dengan cara ditembak.
Sekhusus-khususnya Aceh, termasuk dengan kewenangan mereka untuk menerapkan syariat Islam dengan aturan-aturan khususnya, hukum nasional tetaplah mesti dihormati dan ditempatkan sebagai landasan utama. Qanun yang hanya setingkat peraturan daerah (perda) semestinya pula tak boleh melenceng dari kekuatan hukum di atasnya. Lex superior derogat legi inferiori.
Selain itu, kita patut menduga bahwa dalam rencana penerapan hukuman pancung itu terkandung spirit pembalasan ketimbang spirit penghukuman, yakni nyawa dibayar nyawa. Karena lebih berupa pembalasan, dalih bahwa hukuman pancung akan menimbulkan efek jera terhadap pelaku pembunuhan sebetulnya sudah terbantahkan. Apalagi hingga saat ini belum ada studi yang menyebut adanya korelasi positif antara hukuman mati dan berkurangnya kejahatan.
Alasan lain bahwa hukuman jenis ini menjadi model penegakan hukum di negara-negara Islam juga tidak terlalu tepat. Saat ini hanya empat negara di jazirah Arab yang masih menerapkan hukuman pancung, yakni Arab Saudi, Qatar, Yaman dan Irak.
Namun, yang menarik, kecuali Arab Saudi, pemerintah negara-negara itu sudah jarang melakukan eksekusi pancung. Malah para gerilyawan dan kelompok-kelompok militan setempat yang kerap melakukan pemenggalan secara ilegal terhadap mereka yang dianggap melanggar hukum yang mereka anut.
Dengan semua pertimbangan itu, kita ingin mengingatkan kepada pemerintah Provinsi Aceh, hentikan saja wacana kisas tersebut. Jangan sampai keinginan untuk menerapkan hukuman pancung itu justru kemudian memancung semangat negeri ini untuk meniadakan hukuman mati dengan cara dan metode apapun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
